“papa… mama…?” Rendi heran. Bagaimana bisa dia bertemu dengan orang
tuanya disini. orang tua yang sudah lama terpisah darinya. Ini bukan
sinetron loh… bukan cerita tentang anak yang terbuang lalu ketemu lagi
dengan orang tuanya. Bukan juga cerita anak yang tertukar en terpisah
dari orang tuanya. (aku ngomong apa sih?? maklumi sajalah klo GJ. baru bangun tidur iniiiii… :p).
Rendi bukan terpisah dari orang tuanya, tapi memang sengaja memisahkan
diri. Sudah sejak 3 tahun terakhir, Rendi tak pernah en tak ingin
bertemu dengan orang tuanya. Orang tuanya juga tak pernah mencoba
mencarinya, hanya sebulan sekali papa atau mamanya telfon en mengabarkan
kalo mereka baru saja mentransfer uang ke rekening Rendi. Sesuatu yang
menurut Rendi tidak perlu karena tanpa uang merekapun, Rendi bisa
menghidupi dirinya sendiri dari bisnis Distro yang dia bangun bersama
dengan teman-teman kuliahnya.
Rendi pergi bukan karena Rendi
membenci orang tuanya. Begitu juga dengan papa en mama Rendi yang tak
pernah mencoba mencarinya, bukan berarti mereka tidak peduli. Mereka
mengerti, dengan Rendi yang terluka.
“Rendi?” panggil Sonia yang heran menyadari kekasihnya yang bengong. Rendi salah tingkah.
“umm… Sonia, ini… papa dan mamaku.” Kata Rendi canggung ketika menunjuk papa en mamanya.
“oh… selamat malam om, selamat malam tante,,” Sonia memberi salam pada kedua orang tua Rendi.
“pa,,
ma,, ini Sonia. Pacar Rendi.” Rendi memperkenalkan kekasihnya. Pipi
Sonia memerah. Dia malu tapi juga senang diperkenalkan seperti itu. papa
en mama Rendi tampak terkejut mendengar pengakuan Rendi. Tapi mereka
langsung menyembunyikan perasaannya karena merasa tidak enak hati pada
Sonia yang tak tau apa-apa.
“malam Sonia. Saya papanya Rendi.
Senang bertemu denganmu.” Kata om Rudi santai. Mencoba melupakan
semuanya en menganggapnya tak pernah terjadi. Kita bahas ini nanti.
“hai Sonia, tante mamanya Rendi.”
***
Aku menarik pandanganku dari Sonia yang bergabung dengan papa en
mamaku, lalu kembali fokus pada pangeran berkuda besi yang ada
dihadapanku.
“ngomong-ngomong, bom dari lo lucu. Gue suka,
gue pake deh. Tapi kok ga meledak yah?” aku menunjuk pita hadiah yang
diberikan Izal tadi pagi.
“klo yang pake cewek cantik kayak
lo mah, ga bakalan ngefek. Bomnya juga sungkan meledak di depan lo. Tapi
coba kalo yang pake itu gue, pasti langsung timbul ledakan, ledakan
tawa dari orang-orang maksudnya. Hahaha…” Izal nglantur. Aku tertawa.
Izal lucu banget siihh…
“hey sayang… selamat ulang tahun yah…” Sonia memelukku, lalu aku cipika cipiki dengannya.
“makasihhh…” jawabku sambil tersenyum pada Sonia yang mala mini juga
tampil tanpa kacamatanya, dia memakai kontak lens berwarna biru. Malah
kelihatan kayak anak kucing menurutku.
“loh kok sendirian? Kak Rendinya mana?” tanyaku heran melihat Sonia yang datang sendiri.
“oh, Rendi. tuh… lagi ngobrol sama kak theoo. Tadi gue ajakin kesini
dia ga mau. Katanya masih pengen kangen-kangenan sama kakak lo.” Jelas
Sonia. Aku manggut-manggut.
“Rendi? Siapa tuh?” tanya Izal. Mendengar nama itu, Izal langsung teringat kakaknya. ‘pa mungkin yang mereka maksud itu kak Rendi? Jadi, kak Rendi disini? kok bisa?’
“lo ga tau yah? kak Rendi itu pacarnya Sonia. Tuh orangnya.” aku
menunjuk kea rah Gazebo di sudut taman. Disana ada kak Rendi en kak
theoo yang lagi asik ngobrol. Layaknya orang tua kita yang sahabatan,
kak theoo en kak Rendi juga uda temenan sejak kecil, kak theoo pernah
cerita soal dia en kak Rendi yang sering main bareng klo ortu kita lagi
ketemuan. Klo soal aku en Izal, seperti yang dibilang om Rudi tadi,
terakhir ketemu usiaku masih 1 tahun, jadi sekalipun aku udah pernah
ketemu Izal sebelumnya, aku ga akan pernah inget. kalo aja waktu itu aku
ga ikut papa en mama pindah ke aussy, pasti aku bisa dapetin Izal lebih
awal. tapi faktanya, aku ikut pindah ke aussy en baru balik ke
Indonesia waktu mo masuk SMP, makanya sekarang aku masi merangkak pada
sebuah labirin di hati Izal yang ga jelas ujungnya.
Izal mengarahkan pandangannya ke tempat yang di tunjuk Sofi. Dan benar saja. Dia melihat sosok yang tak asing baginya. ‘benar. Dia kak Rendi’
“lo udah liat belum? itu,,, yang pake kemeja sama jas item. Yang
duduknya sebelah kanan.” Jelasku lagi. Izal bengong terus sih.
“iya. iya… gue uda tau…” secara dia kakak gue. uda 15 tahun idup bareng, pasti tau lah, meskipun uda 3 tahun ga ketemu. “… kalo yang pake kemeja item, duduk sebelah kiri itu mah,,, gue uda apal banget kalo dia kaka lo” lanjut Izal meledek.
“yee… kirain. Lo bengong mulu sih. gue pikir lo belom tau. niat gue
baik, malah diledekin. Males ah.” Aku cemberut. Izal nyengir.
“udah,,, udah,,, lagi asik pesta gini kok malah berantem sih?! kan ga
seru.” Sonia menengahi. “eh, Sof. Ini hadiah dari gue.” Sonia
mengeluarkan kotak kecil berwarna coklat dengan pita berwarna emas dari
handbagnya.
“oh, ya. ini, gue juga punya bom tambahan buat
lo. Udah, ga usah cemberut lagi. tu bibir sama idung jadi sama-sama
mancungnya tuh.” Izal tertawa lalu ikut-ikutan mengeluarkan sesuatu dari
handbagnya, eh salah, jasnya maksudnya. Hoho.
“eh? kok lagi? tadi kan udah.” tanyaku keheranan. Jadi lupa deh kalo aku lagi cemberut sama Izal.
“yang ini bonus.” Jawabnya singkat, lagi-lagi dia memamerkan senyum itu.
“ok. tengkyu deh kalo gitu. Tapi ga perlu nyengir gitu juga kali. Jelek
tauk. Kayak kuda.” Ledekku. Berharap Izal ga ngeluarin senyum itu lagi.
aku tau ini lebay, tapi, klo sekali lagi aku liat senyumnya dia yang
kayak tadi itu tuh, aku bisa beneran pinsan. Aku serius.
“ye,,, gue tu tadi senyum tauk, bukan nyengir. Senyum begini nih…”
“eeehh… udah… udah… kasian tu gigi lo, bisa masuk angin klo lo pamerin
terus. Lagian, lo senyum mulu, klo gue OD gara-gara liat senyum lo
gimana coba.” Ups, nah loh. keceplosan lgi. Uuugghhh… Aku salting.
“hahaha… palingan juga efeknya lo jatuh cinta sama gue. Tenang aja, gue
pasti tanggung jawab kok, klo sampek lo OD gara-gara liat senyum gue,
gue pacarin lo.”
Deg. Jantungku terasa berhenti berdetak ketika mendengar kalimat itu. tanpa aku sadari, Sonia melengos kesal.
***
“Rendi,, sebaiknya kamu pulang ke rumah. Mau sampai kapan kamu tinggal di luar?” pinta papa.
“sampai Izal keluar dari rumah itu.” jawab Rendi dingin. Sambil
memandang kea rah Izal yang sedang asik ngobrol bersama Sofi dan Sonia.
“mama mengerti perasaan kamu sayang. kamu mungkin sedih dan marah. Tapi
kamu ga bisa terus-terusan membenci Izal karna masalah ini. ini semua
sudah takdir tuhan sayang. Itu kecelakaan. Izal juga ga ingin itu
terjadi. Mama juga tau dia sangat menyesal dengan kejadian itu.
pulanglah sayang. mama kangen sama kamu.” Bujuk mama. Matanya mulai
berkaca-kaca.
“takdir itu ga akan terjadi kalo izal lebih becus jagain Resti.” Rendi keras kepala.
“Rendi, kalo kamu terus bersikap seperti ini, Resti tidak akan tenang
disana. Kamu harus terima kenyataan ini. mungkin menurut kamu Izal
salah. Tapi terus-terusan menyalahkan Izal itu juga tidak akan
menyelesaikan masalah dan mengembalikan hidup Resti. Bukankah sekarang
kamu sudah bersama Sonia? Rendi, kamu anak papa dan mama. kamu mungkin
membenci Izal, tapi dia itu adikmu. Kita satu keluarga. Tidak
sepantasnya kita hidup terpisah seperti ini.” kata papa sambil mengelus
punggung Rendi.
“iya sayang. mama kangen sama kebersamaan
kita dulu. mama kangen sama anak mama yang ceria yang selalu buat mama
ketawa. Mama kesepian ga ada kamu. Sudahlah, kamu lupakan saja masa
lalu…”
“papa sama mama ga ngerti.!! Ga semudah itu ngelupain
Resti pa, ma. Ga bisa semudah itu meskipun udah ada Sonia.. en ga
semudah itu maafin Izal. meskipun dia adikku, tapi dia udah ngelakuin
kesalahan besar pa, ma. Dia udah bunuh Resti, orang yang sangat Rendi
sayang. en itu ga bisa dimaafkan.!!” Suara Rendi mulai meninggi. Untung
saja musik yang sedang dimainkan oleh band yang sengaja diundang untuk
meramaikan pesta lebih keras. Sehingga ga ada yang bisa denger suara
Rendi selain papa dan mamanya. Rendi menatap kedua orang tuanya yang
juga menatapnya dengan sedih dan kecewa. Rendi tau, papa dan mama sangat
merindukannya. Rendi juga rindu pada mereka. tapi terlalu menyakitkan
jika dia harus kembali. Melihat Izal di rumah hanya akan membuatnya
emosi dan kembali teringat pada masa lalunya yang menyakitkan.
“maafin Rendi pa, ma. Untuk sementara ini, Rendi belum siap pulang ke
rumah. Mungkin suatu saat nanti Rendi akan pulang. Tapi ga untuk
sekarang. Sekali lagi maafin Rendi pa, ma.” Rendi memelankan suaranya.
Lalu mencium tangan kedua orang tuanya sebelum Rendi pergi meninggalkan
mereka.
***
Aku, Izal en Sonia sedang menikmati
pesta. Band yang jadi bintang tamu malem ini itu, personilnya
temen-temen kak theoo semua lhoo. Nama Bandnya ‘Dalmantians’ uda popular
banget di kalangan anak-anak remaja Jakarta. Ga heran sih. selain
lagunya keren-keren, personilnya juga cakep-cakep. Putih-putih, matanya
sipit. Kayak orang korea. Hahaha.
“hey…”
“ups… sorry.”
Mendengar keributan di sampingku, Aku yang lagi ngamatin setiap inci
wajah ganteng si vokalis, langsung mengalihkan perhatianku en melirik
Sonia yang lagi sibuk membersihkan kaus Izal yang basah dengan tissue di
tangannya.
“duh,, izal… sorry banget yah, gue ga sengaja.
Tadi ada yang nabrak gue dari belakang. Sorry ya zal…” kata Sonia,
sambil terus mencoba membersihkan kaus Izal yang terkena tumpahan orange
juice dari gelas Sonia.
“ada apaan sih?” tanyaku penasaran melihat adegan di hadapanku ini.
“ini, Sonia ga sengaja numpahin minumannya ke baju gue.” Jelas Izal,
yang juga membersihkan kausnya yang sekarang seperti terbentuk pulau
berwarna orange di dadanya. “udah, gue ga papa kok. Biar gue bersihin
sendiri aja. Sof, kamar mandi sebelah mana?”
“um,,, itu. lo masuk aja, terus belok kiri.” Aku menunjuk ke dalam rumah. Izal mengangguk lalu pergi.
***
Rendi membasuh wajahnya. Pembicaraannya dengan papa dan mama,
membuatnya kembali teringat pada masa lalu. Dia terluka. Dia sedih. Dia
kehilangan.
Izal masih mencoba membersihkan kausnya. Warna orangenya malah semakin melebar.
“haduh,, malah tambah kotor begini.” Keluh Izal. Dia sudah menemukan
kamar mandinya. Srek. Pintu kamar mandi bergeser terbuka, Izal mendongak
dan melihat sosok Rendi dari dalam kamar mandi itu.
“kak…”
panggil Izal lirih. Sejenak dia terhenti dari aktifitas
bersih-bersihnya. Izal memandang lekat sosok dihadapannya. Sosok yang di
panggilnya kakak. sosok yang sudah 3 tahun ini sangat membencinya, dan
selama itu juga membuatnya merasa bersalah.
Rendi mambalas
tatapan Izal dengan dingin dan penuh kebencian. Dulu, Izal memang
adiknya. Tapi sekarang, baginya, Izal tak lebih dari seorang pembunuh.
“gue bukan kakak lo.” Kata Rendi dingin sambil berlalu menjauh dari
izal. Sebenarnya Izal ingin berlari mengejar Rendi. Tapi, mungkin akan
lebih baik klo dia diem di tempat seperti ini. daripada nanti pesta Sofi
jadi hancur gara-gara ulanhnya en Rendi yang pasti bakalan berantem
karena kesalahan di masa lalunya, yang sebenarnya sih, bukan sepenuhnya
salah dia.
***
Rendi kembali ke apartemennya. Melemparkan kunci mobil, dompet, en jasnya asal-asalan. Lalu merebahkan dirinya di sofa.
“…Rendi,,
aku takut. Aku ga berani.” Teriak Resti pada kekasihnya yang sudah ada
di sebrang sungai. Rendi memang sengaja menyebrang lebih dulu. dia ingin
membuktikan pada Resti kalo sungainya aman-aman saja, dan setelah
berhasil menyebrangi sungai ini nanti, dia akan segera sampai di danau
yang menjadi tujuan navigasinya hari ini.
“kamu
tenang aja. Batunya ga licin kok. Aku aja bisa. Berarti kamu juga bisa.
Katanya kamu pengen liat danau itu terus make a wish buat hubungan
kita.” Teriak Rendi menyemangati kekasihnya.
“tapi
sungainya serem… cari jalan lain aja deh…” Resti masih ketakutan
memandang sungai yang berarus deras dengan batu-batuan terjal.
“ga ada jalan lain. kata warga ini jalan satu-satunya. Kamu tenang aja. Izal bakal bantuin kamu.” Rendi menunjuk Izal.
“iya kak. Kak Resti tenang aja. Percaya deh sama aku. sini, aku pegang
tangan kakak. nanti kita nyebrang sama-sama.” Izal mengulurkan
tangannya. Resti terdiam sejenak. Dia menatap Rendi yang mengangkat
tangannya memberinya semangat, lalu ganti memandang Izal, yang penuh
keyakinan akan membantunya. Akhirnya, dengan sedikit ragu, Resti meraih
tangan Izal en menggenggamnya. Izal tersenyum.
“ok. siap ya kak. Kita jalan sama-sama. Tapi Pelan-pelan aja. Kakak percaya sama aku kan?”
Resti mengangguk mendengar perkataan Izal. Mereka mulai melompati batu satu persatu.
“bagus Resti sayang. kamu bisa. Kamu uda berhasil. Kamu jangan liat ke
bawah. Jangan liat sungainya. Kamu liat aku aja. Liat aku…” teriak Rendi
dari sebrang. Resti tersenyum kecil. Kepercayaan dirinya mulai muncul.
Keinginannya bersama Rendi lebih besar daripada ketakutannya.
Batu pertama, kedua, ketiga, berhasil mereka lewati. Tapi begitu tiba
di tengah sungai, Resti kembali ketakutan. Menyadari dirinya berada di
atas batu di tengah aliran deras sungai, membuat dirinya nerves.
“izal,, aku takut.” Bisiknya pelan.
“kakak tenang aja. Aku ada disini. kita hampir sampai kak. Sedikit
lagi.” Izal mempererat genggamannya. Resti malah semakin nerves,
tangannya mulai berkeringat.
“Resti,, kamu hampir sampai. Semangat.!!”
“Rendi aku takut…” teriak Resti.
“kamu jangan takut. Kamu liat aku aja. Jangan liat sungai. Kamu hampir
berhasil. Dikit lagi. 5 langkah lagi. kamu pasti bisa.” Kak Rendi terus
menyemangati.
“kak, kakak percaya sama aku kan? kakak percaya sama kak Rendi kan?” bisik Izal. Resti mengangguk.
“kita hampir berhasil kak. Dikit lagi. liat, kak Rendi uda nunggu kakak di sana. Jangan sampek kakak ngecawain dia.”
“tapi aku takut zal. kamu liat deh, kita ada di tengah-tengah sungai yang arusnya deres banget. aku ngeri.”
“aduh,,, kakak jangan liat sungainya. Um… anggep aja ini bukan sungai.
Aggep aja, kita ini lagi main benteng takeshi. Anggep aja ini Cuma kolam
ikan. Gimana? Kakak siap?” izal menatap Resti lekat seolah-olah
meyakinkan gadis yang sangat disayangi kakaknya itu. perlahan Resti
mengangguk. Izal tersenyum.
“ok. kita mulai lagi ya
kak. Pelan-pelan aja. Jangan liat ke bawah.” Bisik Izal. Resti sudah
hampir melangkah, tapi ketakutan kembali menguasai dirinya. Membuatnya
kehilangan keseimbangan. Tangannya yang berkeringan en licin membuat
Izal tak mampu menahannya. Resti tergelincir ke sungai.
“Kak Resti…!!”
“Restiiii…!!!!”
Rendi membuka matanya. badannya berkeringat dingin. Ternyata tadi dia
ketiduran dan memimpikan masa lalunya. Masa lalu yang membuatnya begitu
membenci Izal. Masa lalu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan rumah
karena tak ingin tinggal satu atap bersama seorang adik yang dianggapnya
sebagai pembunuh.
“AAAARRRRGGGGGGHHHH… Brengsek lo Izal.!! PEMBUNUH..!!!”
‘PRANG’. Rendi melemparkan bantal sofanya, menimpa gelas di atas meja yang langsung jatuh-pecah di lantai.
***
Papa memarkir mobilnya di garasi. Melepas sabuk pengamannya, lalu turun dari mobil diikuti oleh mama dan Izal.
“pa… ma…” panggil Izal. Mengehentikan langkah papa dan mamanya.
papa en mamanya menatapnya. ‘apa?’ kata itulah yang tersirat dari raut wajah lelah mereka.
“tadi kak Rendi…”
“papa tau. tadi papa sudah bicara dengannya.” Sahut papa memotong kalimat Izal.
“maafin Izal yah pa. ini gara-gara Izal. Kalo aja Izal bisa jagain kak Resti.” Kata Izal pelan.
“sudahlah sayang. itu bukan salah kamu. Kenyataan ini terlalu berat
untuk kakakmu. Dia butuh waktu untuk menerimanya. Sekarang, kamu
istirahat yah. besok kamu masih sekolah kan?!” mama membelai rembut
rambut Izal. Izal tersenyum lalu menaiki tangga, menuju kamarnya di
lantai dua.
***
“pak udin, hari ini
aku ada IB. jadi jemput aku jam 4 yah.” pesanku sebelum turun dari
mobil. Hari ulang tahunku telah berakhir. Aku kembali menjalani hariku
seperti biasanya. papa en mama uda kembali ke aussy bahkan sebelum aku
kembali dari pulau mimpiku. Katanya ada meeting sama client jam 10
nanti, makanya berangkat pagi-pagi banget. soal mobil sportku,,, aku
dengan senang hati memberikannya pada kak theoo. Untuk anak SMA
seukuranku, Menurutku mobil itu terlalu glamor. Bukannya keren, malah
malu-maluin. Mungkin itu lebih cocok buat anak kuliahan kayak kak theoo.
“kamu
emang dede kakak yang paling cantik, baik, en imuuuuttttt sedunia.
Makasih ya dede,,, buat mobilnya. Mmuuuaacchh.” Kak theo mengelus,
mencubit, en mencium pipiku, setelah menerima kunci mobil sport dariku.
“ga usah segitunya kali kak. Tanpa ngasih mobil sport ke kakak juga,
aku uda jadi adek yang paling cantik, baik, en imut. Haha…”
Aku teringat kembali ekspresi kak theoo tadi pagi. Hari ini kak theoo
juga kembali ke Jakarta. Dia ga bisa bolos lama-lama, banyak tugas
katanya. Hem,,, sepi lagi deh di rumah. Lagi-lagi tinggal aku, mang
udin, pak ujang, en mbok nah. Tapi ga papa lah. Udah biasa.
Aku melirik jam tangan hadiah ualng tahun dari kak Rendi en Sonia. Jam
menunjukkan pukul 06:55 am. 5 menit lagi bel masuk. Tapi kursinya Sonia
masih kosong. Tumben banget dia belum berangkat. Biasanya selama ini
sellau dia yang berangkat duluan.
Drrrtttt… ddrrrrtttt… hp
blackbocor ku bergetar di saku kemejaku. Title kontak bertuliskan ‘Sonia
PRestika’ berkedip-kedip di layar hp ku yang lebar.
“halo,, Sonia.! Lo dimana? Udah mo bel masuk nih?”
“aduh… lo pasti nungguin gue ya? sorry banget yah sof. Hari ini gue ga
masuk. Gue ga enak badan. Lo bilangin ke pengabsennya yah.” terdengar
suara Sonia dari sebrang sana.
“oh. Gitu. Ya uda deh. Lo
istirahat aja. Cepet sembuh yah.” pip. Aku mengakhiri percakapanku
dengan Sonia. Dia sakit? sakit apa? Perasaan kemarin malem sehat-sehat
aja.
***
Sonia melemparkan hp-nya yang
memantul diatas springbed-nya. Lalu menarik selimut tebalnya hingga
mebutupi seluruh tubuhnya.
Tok… tok… tok… terdengar ketukan pintu dari luar.
“Sonia… buka pintunya sayang. kamu sarapan dulu gih. Nanti kamu sakit
loh. Ini bunda uda bawain roti bakar kesukaan kamu.” Kata bunda dari
balik pintu.
“Sonia ga laper bunda… Sonia ga mau makan.” Jawab Sonia dari bawah selimutnya.
Bunda menarik nafas panjang. Lalu mengisyaratkan pada mbok ratih untuk membawa kembali sarapan Sonia.
“lho, bunda? kok di bawa lagi sarapannya?” tanya ayah heran.
“Sonia ga mau makan ayah.” Bunda kembali ke meja makan lalu mengoleskan selai nanas di atas roti bakar untuk sarapan ayah.
“dia ngambek lagi?” tanya ayah dari balik korannya. “kali ini dia minta apa lagi?”
“kemarin malam sonia bilang kalau dia minta mobil.” Jelas bunda
singkat. Ayah menarik nafas panjang, lalu melipat korannya.
“anak itu. makin lama mintanya makin jadi. Ya sudahlah. Kita bahas lagi
masalah ini nanti. Bunda bilang aja sama Sonia, nanti malam pergi ke
showroom, suruh dia pilih mobil mana yang dia mau.” Jawab ayah santai.
“Tapi ayah…”
“sudahlah bunda… Sonia itu anak kita satu-satunya. Selagi kita mampu,
kita turuti saja apa maunya dia. daripada dia terus-terusan ngambek dan
mogok makan, kalo dia sakit kita juga kan yang repot.” Ayah memotong
pembicaraan bunda.
Dikamarnya…
Sonia hanya
tiduran saja di kamarnya. Dia ga akan pernah keluar kamar sebelum ayah
dan bundanya memberikan apa yang dia inginkan.
‘nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, silakan…’ pip. Sonia mematikan telfonnya.
“huh… kemana sih ni orang? Ga tau ceweknya lagi BT apa?!” gerutu Sonia.
Dia memandang fotonya dengan dengan seorang gadis cantik yang dia
jadikan wallpaper hp-nya.
Kecantikannya sempurna dan alami.
Kulitnya putih bersih. Rambutnya terurai sebahu en lurus alami. Matanya
bulat en bening seperti mata bayi. Hidungnya mancung en pipinya sedikit
chubi. Foto itu diambil saat pesta kostum di acara ultahnya Maya. cewek
itu memakai kostum malaikat, lengkap dengan bando en sayapnya, sedangkan
Sonia memakai gaun merah marun selutut dengan bando berbentuk tanduk
Iblis.
“h’h, lo emang pantes banget jadi malaikat. En gue
iblisnya.” Kata Sonia sinis sambil memandang gadis yang selama ini dia
sebut sahabat.
“lo emang sempurna. lo bisa lebih cantik dari
gue meskipun lo ga pernah keluarin biaya sedikitpun buat ke salon. Lo
bisa dapetin apapun yang lo mau, tanpa harus ngambek en mogok makan dulu
kayak yang gue lakuin. Lo bisa dapetin segalanya dengan mudah karena lo
sempurna. lo rebut prestasi gue, lo rebut semua perhatian cowok-cowok
itu dari gue. Sahabat? Mereka bilang kita sahabat. Segitu sempurnanya ya
topeng persahabatan yang kita pake, sampe-sampe mereka ga tau borok apa
yang selama ini kita sembunyiin? Lo terlalu sempurna buat jadi sahabat
gue. En gue benci sama lo.”
Picture-option-DEL. Sonia menghapus foto itu dari hp-nya.
“tapi,,, gue bakalan tetep bertahan dibalik topeng ini. mungkin suatu
saat nanti topeng yang gue pake ini bakal berguna. Iya kan? Sofia
Pervita Somba. Sahabatku tersayang.?” Sonia tersenyum sinis.
‘tok… tok… tok…’ lagi lagi terdengar ketukan pintu dari luar. Sonia diam.
“Sonia sayang… ayah, sama bunda berangkat dulu yah. kata bunda, kamu
pengen mobil ya? ok. nanti malam kita pergi ke showroom. Kamu boleh
pilih mobil apapun yang kamu suka.” Kata ayah dari balik pintu. Mata
Sonia membulat mendengar kalimat ayahnya. ‘yes…!’ Sonia tersenyum puas.
***
to be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar