Senin, 28 November 2011

.:: Eeniee Meeniiee ::. pt. 3

“papa… mama…?” Rendi heran. Bagaimana bisa dia bertemu dengan orang tuanya disini. orang tua yang sudah lama terpisah darinya. Ini bukan sinetron loh… bukan cerita tentang anak yang terbuang lalu ketemu lagi dengan orang tuanya. Bukan juga cerita anak yang tertukar en terpisah dari orang tuanya. (aku ngomong apa sih?? maklumi sajalah klo GJ. baru bangun tidur iniiiii… :p). Rendi bukan terpisah dari orang tuanya, tapi memang sengaja memisahkan diri. Sudah sejak 3 tahun terakhir, Rendi tak pernah en tak ingin bertemu dengan orang tuanya. Orang tuanya juga tak pernah mencoba mencarinya, hanya sebulan sekali papa atau mamanya telfon en mengabarkan kalo mereka baru saja mentransfer uang ke rekening Rendi. Sesuatu yang menurut Rendi tidak perlu karena tanpa uang merekapun, Rendi bisa menghidupi dirinya sendiri dari bisnis Distro yang dia bangun bersama dengan teman-teman kuliahnya.
 Rendi pergi bukan karena Rendi membenci orang tuanya. Begitu juga dengan papa en mama Rendi yang tak pernah mencoba mencarinya, bukan berarti mereka tidak peduli. Mereka mengerti, dengan Rendi yang terluka.
“Rendi?” panggil Sonia yang heran menyadari kekasihnya yang bengong. Rendi salah tingkah.
“umm… Sonia, ini… papa dan mamaku.” Kata Rendi canggung ketika menunjuk papa en mamanya.
“oh… selamat malam om, selamat malam tante,,” Sonia memberi salam pada kedua orang tua Rendi.
“pa,, ma,, ini Sonia. Pacar Rendi.” Rendi memperkenalkan kekasihnya. Pipi Sonia memerah. Dia malu tapi juga senang diperkenalkan seperti itu. papa en mama Rendi tampak terkejut mendengar pengakuan Rendi. Tapi mereka langsung menyembunyikan perasaannya karena merasa tidak enak hati pada Sonia yang tak tau apa-apa.
“malam Sonia. Saya papanya Rendi. Senang bertemu denganmu.” Kata om Rudi santai. Mencoba melupakan semuanya en menganggapnya tak pernah terjadi. Kita bahas ini nanti.
“hai Sonia, tante mamanya Rendi.”

***

      Aku menarik pandanganku dari Sonia yang bergabung dengan papa en mamaku, lalu kembali fokus pada pangeran berkuda besi yang ada dihadapanku.
      “ngomong-ngomong, bom dari lo lucu. Gue suka, gue pake deh. Tapi kok ga meledak yah?” aku menunjuk pita hadiah yang diberikan Izal tadi pagi.
      “klo yang pake cewek cantik kayak lo mah, ga bakalan ngefek. Bomnya juga sungkan meledak di depan lo. Tapi coba kalo yang pake itu gue, pasti langsung timbul ledakan, ledakan tawa dari orang-orang maksudnya. Hahaha…” Izal nglantur. Aku tertawa. Izal lucu banget siihh…
      “hey sayang… selamat ulang tahun yah…” Sonia memelukku, lalu aku cipika cipiki dengannya.
      “makasihhh…” jawabku sambil tersenyum pada Sonia yang mala mini juga tampil tanpa kacamatanya, dia memakai kontak lens berwarna biru. Malah kelihatan kayak anak kucing menurutku.
      “loh kok sendirian? Kak Rendinya mana?” tanyaku heran melihat Sonia yang datang sendiri.
      “oh, Rendi. tuh… lagi ngobrol sama kak theoo. Tadi gue ajakin kesini dia ga mau. Katanya masih pengen kangen-kangenan sama kakak lo.” Jelas Sonia. Aku manggut-manggut.
      “Rendi? Siapa tuh?” tanya Izal. Mendengar nama itu, Izal langsung teringat kakaknya. ‘pa mungkin yang mereka maksud itu kak Rendi? Jadi, kak Rendi disini? kok bisa?’
      “lo ga tau yah? kak Rendi itu pacarnya Sonia. Tuh orangnya.” aku menunjuk kea rah Gazebo di sudut taman. Disana ada kak Rendi en kak theoo yang lagi asik ngobrol. Layaknya orang tua kita yang sahabatan, kak theoo en kak Rendi juga uda temenan sejak kecil, kak theoo pernah cerita soal dia en kak Rendi yang sering main bareng klo ortu kita lagi ketemuan. Klo soal aku en Izal, seperti yang dibilang om Rudi tadi, terakhir ketemu usiaku masih 1 tahun, jadi sekalipun aku udah pernah ketemu Izal sebelumnya, aku ga akan pernah inget. kalo aja waktu itu aku ga ikut papa en mama pindah ke aussy, pasti aku bisa dapetin Izal lebih awal. tapi faktanya, aku ikut pindah ke aussy en baru balik ke Indonesia waktu mo masuk SMP, makanya sekarang aku masi merangkak pada sebuah labirin di hati Izal yang ga jelas ujungnya.
      Izal mengarahkan pandangannya ke tempat yang di tunjuk Sofi. Dan benar saja. Dia melihat sosok yang tak asing baginya. ‘benar. Dia kak Rendi’
      “lo udah liat belum? itu,,, yang pake kemeja sama jas item. Yang duduknya sebelah kanan.” Jelasku lagi. Izal bengong terus sih.
      “iya. iya… gue uda tau…” secara dia kakak gue. uda 15 tahun idup bareng, pasti tau lah, meskipun uda 3 tahun ga ketemu. “… kalo yang pake kemeja item, duduk sebelah kiri itu mah,,, gue uda apal banget kalo dia kaka lo” lanjut Izal meledek.
      “yee… kirain. Lo bengong mulu sih. gue pikir lo belom tau. niat gue baik, malah diledekin. Males ah.” Aku cemberut. Izal nyengir.
      “udah,,, udah,,, lagi asik pesta gini kok malah berantem sih?! kan ga seru.” Sonia menengahi. “eh, Sof. Ini hadiah dari gue.” Sonia mengeluarkan kotak kecil berwarna coklat dengan pita berwarna emas dari handbagnya.
      “oh, ya. ini, gue juga punya bom tambahan buat lo. Udah, ga usah cemberut lagi. tu bibir sama idung jadi sama-sama mancungnya tuh.” Izal tertawa lalu ikut-ikutan mengeluarkan sesuatu dari handbagnya, eh salah, jasnya maksudnya. Hoho.
      “eh? kok lagi? tadi kan udah.” tanyaku keheranan. Jadi lupa deh kalo aku lagi cemberut sama Izal.
      “yang ini bonus.” Jawabnya singkat, lagi-lagi dia memamerkan senyum itu.
      “ok. tengkyu deh kalo gitu. Tapi ga perlu nyengir gitu juga kali. Jelek tauk. Kayak kuda.” Ledekku. Berharap Izal ga ngeluarin senyum itu lagi. aku tau ini lebay, tapi, klo sekali lagi aku liat senyumnya dia yang kayak tadi itu tuh, aku bisa beneran pinsan. Aku serius.
      “ye,,, gue tu tadi senyum tauk, bukan nyengir. Senyum begini nih…”
      “eeehh… udah… udah… kasian tu gigi lo, bisa masuk angin klo lo pamerin terus. Lagian, lo senyum mulu, klo gue OD gara-gara liat senyum lo gimana coba.” Ups, nah loh. keceplosan lgi. Uuugghhh… Aku salting.
      “hahaha… palingan juga efeknya lo jatuh cinta sama gue. Tenang aja, gue pasti tanggung jawab kok, klo sampek lo OD gara-gara liat senyum gue, gue pacarin lo.”
Deg. Jantungku terasa berhenti berdetak ketika mendengar kalimat itu. tanpa aku sadari, Sonia melengos kesal.

***

“Rendi,, sebaiknya kamu pulang ke rumah. Mau sampai kapan kamu tinggal di luar?” pinta papa.
      “sampai Izal keluar dari rumah itu.” jawab Rendi dingin. Sambil memandang kea rah Izal yang sedang asik ngobrol bersama Sofi dan Sonia.
      “mama mengerti perasaan kamu sayang. kamu mungkin sedih dan marah. Tapi kamu ga bisa terus-terusan membenci Izal karna masalah ini. ini semua sudah takdir tuhan sayang. Itu kecelakaan. Izal juga ga ingin itu terjadi. Mama juga tau dia sangat menyesal dengan kejadian itu. pulanglah sayang. mama kangen sama kamu.” Bujuk mama. Matanya mulai berkaca-kaca.
      “takdir itu ga akan terjadi kalo izal lebih becus jagain Resti.” Rendi keras kepala.
      “Rendi, kalo kamu terus bersikap seperti ini, Resti tidak akan tenang disana. Kamu harus terima kenyataan ini. mungkin menurut kamu Izal salah. Tapi terus-terusan menyalahkan Izal itu juga tidak akan menyelesaikan masalah dan mengembalikan hidup Resti. Bukankah sekarang kamu sudah bersama Sonia? Rendi, kamu anak papa dan mama. kamu mungkin membenci Izal, tapi dia itu adikmu. Kita satu keluarga. Tidak sepantasnya kita hidup terpisah seperti ini.” kata papa sambil mengelus punggung Rendi.
      “iya sayang. mama kangen sama kebersamaan kita dulu. mama kangen sama anak mama yang ceria yang selalu buat mama ketawa. Mama kesepian ga ada kamu. Sudahlah, kamu lupakan saja masa lalu…”
      “papa sama mama ga ngerti.!! Ga semudah itu ngelupain Resti pa, ma. Ga bisa semudah itu meskipun udah ada Sonia.. en ga semudah itu maafin Izal. meskipun dia adikku, tapi dia udah ngelakuin kesalahan besar pa, ma. Dia udah bunuh Resti, orang yang sangat Rendi sayang. en itu ga bisa dimaafkan.!!” Suara Rendi mulai meninggi. Untung saja musik yang sedang dimainkan oleh band yang sengaja diundang untuk meramaikan pesta lebih keras. Sehingga ga ada yang bisa denger suara Rendi selain papa dan mamanya. Rendi menatap kedua orang tuanya yang juga menatapnya dengan sedih dan kecewa. Rendi tau, papa dan mama sangat merindukannya. Rendi juga rindu pada mereka. tapi terlalu menyakitkan jika dia harus kembali. Melihat Izal di rumah hanya akan membuatnya emosi dan kembali teringat pada masa lalunya yang menyakitkan.
      “maafin Rendi pa, ma. Untuk sementara ini, Rendi belum siap pulang ke  rumah. Mungkin suatu saat nanti Rendi akan pulang. Tapi ga untuk sekarang. Sekali lagi maafin Rendi pa, ma.” Rendi memelankan suaranya. Lalu mencium tangan kedua orang tuanya sebelum Rendi pergi meninggalkan mereka.
      ***
      Aku, Izal en Sonia sedang menikmati pesta. Band yang jadi bintang tamu malem ini itu, personilnya temen-temen kak theoo semua lhoo. Nama Bandnya ‘Dalmantians’ uda popular banget di kalangan anak-anak remaja Jakarta. Ga heran sih. selain lagunya keren-keren, personilnya juga cakep-cakep. Putih-putih, matanya sipit. Kayak orang korea. Hahaha.
      “hey…”
      “ups… sorry.”
      Mendengar keributan di sampingku, Aku yang lagi ngamatin setiap inci wajah ganteng si vokalis, langsung mengalihkan perhatianku en melirik Sonia yang lagi sibuk membersihkan kaus Izal yang basah dengan tissue di tangannya.
      “duh,, izal… sorry banget yah, gue ga sengaja. Tadi ada yang nabrak gue dari belakang. Sorry ya zal…” kata Sonia, sambil terus mencoba membersihkan kaus Izal yang terkena tumpahan orange juice dari gelas Sonia.
      “ada apaan sih?” tanyaku penasaran melihat adegan di hadapanku ini.
      “ini, Sonia ga sengaja numpahin minumannya ke baju gue.” Jelas Izal, yang juga membersihkan kausnya yang sekarang seperti terbentuk pulau berwarna orange di dadanya. “udah, gue ga papa kok. Biar gue bersihin sendiri aja. Sof, kamar mandi sebelah mana?”
      “um,,, itu. lo masuk aja, terus belok kiri.” Aku menunjuk ke dalam rumah. Izal mengangguk lalu pergi.

***

      Rendi membasuh wajahnya. Pembicaraannya dengan papa dan mama, membuatnya kembali teringat pada masa lalu. Dia terluka. Dia sedih. Dia kehilangan.
      Izal masih mencoba membersihkan kausnya. Warna orangenya malah semakin melebar.
      “haduh,, malah tambah kotor begini.” Keluh Izal. Dia sudah menemukan kamar mandinya. Srek. Pintu kamar mandi bergeser terbuka, Izal mendongak dan melihat sosok Rendi dari dalam kamar mandi itu.
      “kak…” panggil Izal lirih. Sejenak dia terhenti dari aktifitas bersih-bersihnya. Izal memandang lekat sosok dihadapannya. Sosok yang di panggilnya kakak. sosok yang sudah 3 tahun ini sangat membencinya, dan selama itu juga membuatnya merasa bersalah.
      Rendi mambalas tatapan Izal dengan dingin dan penuh kebencian. Dulu, Izal memang adiknya. Tapi sekarang, baginya, Izal tak lebih dari seorang pembunuh.
      “gue bukan kakak lo.” Kata Rendi dingin sambil berlalu menjauh dari izal. Sebenarnya Izal ingin berlari mengejar Rendi. Tapi, mungkin akan lebih baik klo dia diem di tempat seperti ini. daripada nanti pesta Sofi jadi hancur gara-gara ulanhnya en Rendi yang pasti bakalan berantem karena kesalahan di masa lalunya, yang sebenarnya sih, bukan sepenuhnya salah dia.

      ***

      Rendi kembali ke apartemennya. Melemparkan kunci mobil, dompet, en jasnya asal-asalan. Lalu merebahkan dirinya di sofa.
      “…Rendi,, aku takut. Aku ga berani.” Teriak Resti pada kekasihnya yang sudah ada di sebrang sungai. Rendi memang sengaja menyebrang lebih dulu. dia ingin membuktikan pada Resti kalo sungainya aman-aman saja, dan setelah berhasil menyebrangi sungai ini nanti, dia akan segera sampai di danau yang menjadi tujuan navigasinya hari ini.
      “kamu tenang aja. Batunya ga licin kok. Aku aja bisa. Berarti kamu juga bisa. Katanya kamu pengen liat danau itu terus make a wish buat hubungan kita.” Teriak Rendi menyemangati kekasihnya.
      “tapi sungainya serem… cari jalan lain aja deh…” Resti masih ketakutan memandang sungai yang berarus deras dengan batu-batuan terjal.
      “ga ada jalan lain. kata warga ini jalan satu-satunya. Kamu tenang aja. Izal bakal bantuin kamu.” Rendi menunjuk Izal.
      “iya kak. Kak Resti tenang aja. Percaya deh sama aku. sini, aku pegang tangan kakak. nanti kita nyebrang sama-sama.” Izal mengulurkan tangannya. Resti terdiam sejenak. Dia menatap Rendi yang mengangkat tangannya memberinya semangat, lalu ganti memandang Izal, yang penuh keyakinan akan membantunya. Akhirnya, dengan sedikit ragu, Resti meraih tangan Izal en menggenggamnya. Izal tersenyum.
      “ok. siap ya kak. Kita jalan sama-sama. Tapi Pelan-pelan aja. Kakak percaya sama aku kan?”
      Resti mengangguk mendengar perkataan Izal. Mereka mulai melompati batu satu persatu.
      “bagus Resti sayang. kamu bisa. Kamu uda berhasil. Kamu jangan liat ke bawah. Jangan liat sungainya. Kamu liat aku aja. Liat aku…” teriak Rendi dari sebrang. Resti tersenyum kecil. Kepercayaan dirinya mulai muncul. Keinginannya bersama Rendi lebih besar daripada ketakutannya.
      Batu pertama, kedua, ketiga, berhasil mereka lewati. Tapi begitu tiba di tengah sungai, Resti kembali ketakutan. Menyadari dirinya berada di atas batu di tengah aliran deras sungai, membuat dirinya nerves.
      “izal,, aku takut.” Bisiknya pelan.
      “kakak tenang aja. Aku ada disini. kita hampir sampai kak. Sedikit lagi.” Izal mempererat genggamannya. Resti malah semakin nerves, tangannya mulai berkeringat.
      “Resti,, kamu hampir sampai. Semangat.!!”
      “Rendi aku takut…” teriak Resti.
      “kamu jangan takut. Kamu liat aku aja. Jangan liat sungai. Kamu hampir berhasil. Dikit lagi. 5 langkah lagi. kamu pasti bisa.” Kak Rendi terus menyemangati.
      “kak, kakak percaya sama aku kan? kakak percaya sama kak Rendi kan?” bisik Izal. Resti mengangguk.
      “kita hampir berhasil kak. Dikit lagi. liat, kak Rendi uda nunggu kakak di sana. Jangan sampek kakak ngecawain dia.”
      “tapi aku takut zal. kamu liat deh, kita ada di tengah-tengah sungai yang arusnya deres banget. aku ngeri.”
      “aduh,,, kakak jangan liat sungainya. Um… anggep aja ini bukan sungai. Aggep aja, kita ini lagi main benteng takeshi. Anggep aja ini Cuma kolam ikan. Gimana? Kakak siap?” izal menatap Resti lekat seolah-olah meyakinkan gadis yang sangat disayangi kakaknya itu. perlahan Resti mengangguk. Izal tersenyum.
      “ok. kita mulai lagi ya kak. Pelan-pelan aja. Jangan liat ke bawah.” Bisik Izal. Resti sudah hampir melangkah, tapi ketakutan kembali menguasai dirinya. Membuatnya kehilangan keseimbangan. Tangannya yang berkeringan en licin membuat Izal tak mampu menahannya. Resti tergelincir ke sungai.
      “Kak Resti…!!”
      “Restiiii…!!!!”
      Rendi membuka matanya. badannya berkeringat dingin. Ternyata tadi dia ketiduran dan memimpikan masa lalunya. Masa lalu yang membuatnya begitu membenci Izal. Masa lalu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan rumah karena tak ingin tinggal satu atap bersama seorang adik yang dianggapnya sebagai pembunuh.
      “AAAARRRRGGGGGGHHHH… Brengsek lo Izal.!! PEMBUNUH..!!!”
‘PRANG’. Rendi melemparkan bantal sofanya, menimpa gelas di atas meja yang langsung jatuh-pecah di lantai.

***

      Papa memarkir mobilnya di garasi. Melepas sabuk pengamannya, lalu turun dari mobil diikuti oleh mama dan Izal.
      “pa… ma…” panggil Izal. Mengehentikan langkah papa dan mamanya.
papa en mamanya menatapnya. ‘apa?’ kata itulah yang tersirat dari raut wajah lelah mereka.
      “tadi kak Rendi…”
      “papa tau. tadi papa sudah bicara dengannya.” Sahut papa memotong kalimat Izal.
      “maafin Izal yah pa. ini gara-gara Izal. Kalo aja Izal bisa jagain kak Resti.” Kata Izal pelan.
      “sudahlah sayang. itu bukan salah kamu. Kenyataan ini terlalu berat untuk kakakmu. Dia butuh waktu untuk menerimanya. Sekarang, kamu istirahat yah. besok kamu masih sekolah kan?!” mama membelai rembut rambut Izal. Izal tersenyum lalu menaiki tangga, menuju kamarnya di lantai dua.

***

      “pak udin, hari ini aku ada IB. jadi jemput aku jam 4 yah.” pesanku sebelum turun dari mobil. Hari ulang tahunku telah berakhir. Aku kembali menjalani hariku seperti biasanya. papa en mama uda kembali ke aussy bahkan sebelum aku kembali dari pulau mimpiku. Katanya ada meeting sama client jam 10 nanti, makanya berangkat pagi-pagi banget. soal mobil sportku,,, aku dengan senang hati memberikannya pada kak theoo. Untuk anak SMA seukuranku, Menurutku mobil itu terlalu glamor. Bukannya keren, malah malu-maluin. Mungkin itu lebih cocok buat anak kuliahan kayak kak theoo.
      “kamu emang dede kakak yang paling cantik, baik, en imuuuuttttt sedunia. Makasih ya dede,,, buat mobilnya. Mmuuuaacchh.” Kak theo mengelus, mencubit, en mencium pipiku, setelah menerima kunci mobil sport dariku.
      “ga usah segitunya kali kak. Tanpa ngasih mobil sport ke kakak juga, aku uda jadi adek yang paling cantik, baik, en imut. Haha…”
      Aku teringat kembali ekspresi kak theoo tadi pagi. Hari ini kak theoo juga kembali ke Jakarta. Dia ga bisa bolos lama-lama, banyak tugas katanya. Hem,,, sepi lagi deh di rumah. Lagi-lagi tinggal aku, mang udin, pak ujang, en mbok nah. Tapi ga papa lah. Udah biasa.
      Aku melirik jam tangan hadiah ualng tahun dari kak Rendi en Sonia. Jam menunjukkan pukul 06:55 am. 5 menit lagi bel masuk. Tapi kursinya Sonia masih kosong. Tumben banget dia belum berangkat. Biasanya selama ini sellau dia yang berangkat duluan.
      Drrrtttt… ddrrrrtttt… hp blackbocor ku bergetar di saku kemejaku. Title kontak bertuliskan ‘Sonia PRestika’ berkedip-kedip di layar hp ku yang lebar.
      “halo,, Sonia.! Lo dimana? Udah mo bel masuk nih?”
      “aduh… lo pasti nungguin gue ya? sorry banget yah sof. Hari ini gue ga masuk. Gue ga enak badan. Lo bilangin ke pengabsennya yah.” terdengar suara Sonia dari sebrang sana.
      “oh. Gitu. Ya uda deh. Lo istirahat aja. Cepet sembuh yah.” pip. Aku mengakhiri percakapanku dengan Sonia. Dia sakit? sakit apa? Perasaan kemarin malem sehat-sehat aja.

***

      Sonia melemparkan hp-nya yang memantul diatas springbed-nya. Lalu menarik selimut tebalnya hingga mebutupi seluruh tubuhnya.
      Tok… tok… tok… terdengar ketukan pintu dari luar.
      “Sonia… buka pintunya sayang. kamu sarapan dulu gih. Nanti kamu sakit loh. Ini bunda uda bawain roti bakar kesukaan kamu.” Kata bunda dari balik pintu.
      “Sonia ga laper bunda… Sonia ga mau makan.” Jawab Sonia dari bawah selimutnya.
Bunda menarik nafas panjang. Lalu mengisyaratkan pada mbok ratih untuk membawa kembali sarapan Sonia.
      “lho, bunda? kok di bawa lagi sarapannya?” tanya ayah heran.
      “Sonia ga mau makan ayah.” Bunda kembali ke meja makan lalu mengoleskan selai nanas di atas roti bakar untuk sarapan ayah.
      “dia ngambek lagi?” tanya ayah dari balik korannya. “kali ini dia minta apa lagi?”
      “kemarin malam sonia bilang kalau dia minta mobil.” Jelas bunda singkat. Ayah menarik nafas panjang, lalu melipat korannya.
      “anak itu. makin lama mintanya makin jadi. Ya sudahlah. Kita bahas lagi masalah ini nanti. Bunda bilang aja sama Sonia, nanti malam pergi ke showroom, suruh dia pilih mobil mana yang dia mau.” Jawab ayah santai.
      “Tapi ayah…”
      “sudahlah bunda… Sonia itu anak kita satu-satunya. Selagi kita mampu, kita turuti saja apa maunya dia. daripada dia terus-terusan ngambek dan mogok makan, kalo dia sakit kita juga kan yang repot.” Ayah memotong pembicaraan bunda.
      Dikamarnya…
      Sonia hanya tiduran saja di kamarnya. Dia ga akan pernah keluar kamar sebelum ayah dan bundanya memberikan apa yang dia inginkan.
      ‘nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, silakan…’ pip. Sonia mematikan telfonnya.
      “huh… kemana sih ni orang? Ga tau ceweknya lagi BT apa?!” gerutu Sonia. Dia memandang fotonya dengan dengan seorang gadis cantik yang dia jadikan wallpaper hp-nya.
      Kecantikannya sempurna dan alami. Kulitnya putih bersih. Rambutnya terurai sebahu en lurus alami. Matanya bulat en bening seperti mata bayi. Hidungnya mancung en pipinya sedikit chubi. Foto itu diambil saat pesta kostum di acara ultahnya Maya. cewek itu memakai kostum malaikat, lengkap dengan bando en sayapnya, sedangkan Sonia memakai gaun merah marun selutut dengan bando berbentuk tanduk Iblis.
      “h’h, lo emang pantes banget jadi malaikat. En gue iblisnya.” Kata Sonia sinis sambil memandang gadis yang selama ini dia sebut sahabat.
      “lo emang sempurna. lo bisa lebih cantik dari gue meskipun lo ga pernah keluarin biaya sedikitpun buat ke salon. Lo bisa dapetin apapun yang lo mau, tanpa harus ngambek en mogok makan dulu kayak yang gue lakuin. Lo bisa dapetin segalanya dengan mudah karena lo sempurna. lo rebut prestasi gue, lo rebut semua perhatian cowok-cowok itu dari gue. Sahabat? Mereka bilang kita sahabat. Segitu sempurnanya ya topeng persahabatan yang kita pake, sampe-sampe mereka ga tau borok apa yang selama ini kita sembunyiin? Lo terlalu sempurna buat jadi sahabat gue. En gue benci sama lo.”
      Picture-option-DEL. Sonia menghapus foto itu dari hp-nya.
      “tapi,,, gue bakalan tetep bertahan dibalik topeng ini. mungkin suatu saat nanti topeng yang gue pake ini bakal berguna. Iya kan? Sofia Pervita Somba. Sahabatku tersayang.?” Sonia tersenyum sinis.
      ‘tok… tok… tok…’ lagi lagi terdengar ketukan pintu dari luar. Sonia diam.
      “Sonia sayang… ayah, sama bunda berangkat dulu yah. kata bunda, kamu pengen mobil ya? ok. nanti malam kita pergi ke showroom. Kamu boleh pilih mobil apapun yang kamu suka.” Kata ayah dari balik pintu. Mata Sonia membulat mendengar kalimat ayahnya. ‘yes…!’ Sonia tersenyum puas.

***
to be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar