***
“Sof, lo pernah ngerasa ga kalo selama
ini lo tu saingan sama sahabat lo sendiri?” tanya Susan yang entah sejak
kapan telah duduk di kursi Sonia yang kosong.
“eh? maksud lo saingan?” tanyaku ga ngerti. Kenapa susan tiba-tiba nanyain itu?
“yea… saingan. Dari pertama liat hubungan lo sama Sonia, menurut gue,
kalian tu lebih mirip sebagai lawan daripada teman. Terutama buat
Sonia.” Kata susan sambil berlalu.
Aku berdiri di bawah
pohon aster besar di depan sekolahku. Dari tadi aku terus kepikiran
sama kata-katanya Susan. Aku masi belum paham sama semuanya. Bukan sama
kata-katanya susan, tapi sama tingkahnya. Aku, Sonia, en Susan emang
berasal dari SMP yang sama, en dari dulu selalu sekelas. Tapi, selama
ini aku ga pernah deket sama dia. Cuma sebatas temen sekelas, temen
diskusi kalo kita terlibat dalam satu kelompok, ato kadang-kadang temen
kekantin. Selebihnya dari itu, aku ga pernah terlibat dalam suatu
keadaan ato percakapan dengannya. Kecuali hari ini, susan keliatan ga
pernah peduli sama persahabatanku en Sonia, justru malah mempertanyakan
hal itu. hem,,, emangnya sejak kapan dia peduli tentang aku en Sonia?
Sejak kapan dia tau kalo persahabatanku en Sonia ga semurni yang orang
lain bayangkan? Aku baru sadar, ternyata ada penonton yang cerdas
disini. ato jangan-jangan topeng yang kita pake selama ini uda mulai
retak? Sampe-sampe Susan mampu nyium borok yang selama ini kita tutupi
pake topeng emas.
‘tin… tin…’ suara klakson motor sport Izal membuyarkan semua lamunanku.
“mau bareng?” tanya Izal setelah membuka kaca helm-nya.
“sebernya sih mau banget, tapi gue lagi nunggu jemputan nih. lain kali
aja yah.” tolakku halus, sambil memasang senyum termanis yang pernah
aku miliki.
“oh, ok deh. Senyum lo manis. Ati-ati loh, nanti lo dikerubutin semut.” Goda izal lalu menarik gas motornya. Brum… brum…
“dasar Izal. Tapi… tadi dia bilang apa? Gue manis?” aku ngomong sambil
senyum-senyum sendiri. Eh, ngomong-ngomong soal jemputan… pak ujang
kemana nih? uda setengah jam nunggu, tapi ga dateng-dateng juga. klo
begini terus, aku bisa di kerubutin semut beneran nih, bukan karena
manis, tapi karena dikira bangke dari tadi berdiri disini terus ga
pindah-pindah.
Drrrrrtttt… ddrrrrrrttttt… hp-ku getar. “mang
ujang calling” nah, ini dia nih yang ditunggu-tunggu. Tapi kok
telepon? Wah, perasaanku mulai ga enak nih.
“halo,, pak ujang kemana aja sih? di tungguin dari tadi juga…” protesku.
“aduh,,, maaf non Sofi, ban mobilnya kemps kena ranjau dijalan. Ini
pak ujang masih di bengkel.” Kata pak ujang dari sebrang sana. Aku
mendengus kesal. Nah terus? Aku pulangnya gimana dong?? Karena daerah
ini jalanan komplek, jadi ga ada taxi yang lewat daerah sini. Mana
sekolah uda sepi lagi. hadeuh,, aku mengeluh kritis. Pandanganku tertuju
pada Honda jazz silver yang berhenti di depanku. Aku mengernyit.
Kayaknya aku kenal deh sama pemilik mobil ini.
“Sofi…!!” sapa kak Rendi yang baru saja turun dari mobilnya.
“kak Rendi?”
“loh kok kamu belum pulang? Sonianya mana?”
“belum nih. pak ujang masi di bengkel. Mobilku bannya kempes, kena
ranjau katanya. Lho? Sonia hari ini kan ga masuk sekolah kak. Tadi dia
telfon katanya lagi sakit. kakak ga tau?” aku heran.
“o, ya?
hem,,, hari ini aku sibuk di kampus, en hp-ku ketinggalan di
apartement, jadi aku belum sempet sms-an sama dia.” jelas kak Rendi. Aku
manggut-manggut.
“eh, kamu belum di jemput kan? ikut kakak aja yuk. Nanti kakak anterin pulang.” Ajak kak Rendi. Kebetulan bangeett… ^^
“boleh deh, aku juga uda boring disini.”
Kak Rendi membukakan pintu mobilnya untukku. Aku masuk. Kak Rendi bersiap dibelakang kemudi, lalu kami pergi.
“eh, ada bunga.” Aku meraih bucket bunga mawar putih dari atas
dashboard depan tempat dudukku. “ini buat Sonia?” tanyaku sambil mencium
bunga itu. wangi.
“bukan. Itu buat seseorang.” Jawab kak Rendi tanpa mengalihkan fokusnya dari jalan.
Seseorang?
Aku mengembalikan bucket bunga itu ke tempat semula. Kak Rendi
mengarahkan mobilnya ke area pemakaman di daerah baros. Loh kok?
“kak kok kita kesini?” tanyaku heran. “em… kakak… kak Rendi beneran
kan? bukan genderuwo kan?” tanyaku polos sambil mencolek-colek pipi kak
Rendi. “nyata kok.” Gumamku dengan tampang bloon. Kak Rendi tersenyum.
“kamu ini, klo over dosis film horror ya jadinya begini nih.
pikirannya lebay. Aku nyata kali. Lagian, mana ada genderuwo cakep
begini.” Kak Rendi menunjuk wajahnya yang memang cakep. “ayo turun.
Bawa bunganya.” Kak mengacak rambutku lalu turun dari mobil. Aku meraih
bucket bunga mawar putih yang tadi aku cium, lalu mengintil di
belakang kak Rendi sambil merapikan rambutku yang baru saja diacak-acak
kak Rendi.
Kak Rendi menghentikan langkahnya di samping
sebuah makam. Batu nisannya terbuat dari batu marmer yang putih bersih.
Nama ‘Resti Arsinta’ terukir rapi dengan font Edwardian script.
“res-ti ar-sin-ta?” aku mengeja namanya lalu melirik kak rendi yang
berlutut di samping batu nisan itu, membelainya lembut seraya
membersihkan debu dari permukaannya. Ada raut kesedihan yang tersirat
di wajah ganteng kak rendi. Aku jadi ga tega litanya. Resti arsinta? Sebenernya siapa dia. kenapa dia bisa buat kak rendi sesedih ini? apa dia kakaknya? Ato adiknya? Batinku sibuk menebak-nebak tentangnya. Lalu membaca lagi tulisan di atas nisan itu. lahir: 27 February 1990, wafat:17 oktober 2008.
Suasana
hening. Aku en kak rendi memandang makam resti dengan pemikiran kami
masing-masing, yang tentunya berbeda. Aku mencoba menebak-nebak siapa en
sepenting apa posisinya untuk kak rendi, sedangkan kak rendi… mana aku
tau apa yang dia pikirkan. Aku kan ga bisa legilimency. Yang aku tau,
kak rendi lagi sedih saat ini. aduh,,, ga tega banget deh litanya. Aku
ikut berlutut disampingnya lalu mengusap punggungnya dengan lembut.
“hem,,, udah. Ayo pulang.” Kata kak rendi memecah suasana yang
beberapa menit lalu berubah sepi en mellow. Dia mengulurkan tangannya
meminta buket bunga yang sedari tadi ada di genggamanku.
“kamu suka mawar putih kan? ini, aku bawain bunga kesukaan kamu.” Kata
kak rendi sambil meletakkan bucket bunga diatas pusara resti. Lalu
menegakkan tubuhnya sambil tersenyum penuh arti.
“ayo
pulang. Kamu ga lagi kepikiran buat tidur disini kan?” goda kak rendi.
Raut kesedihannya telah hilang begitu saja. Dia telah kembali menjadi
kak rendi yang ceria.
“yee,,, kakak. ya engga lah.” Aku
berdiri, lalu kembali mengintil kak rendi yang berjalan menjauh dari
pusara putih milik resti.
“dia resti. Pacar aku.” jelas kak rendi singkat. Mungkin dia tau aku bingung, en ga cukup berani buat tanya sama dia. ‘resti, pacar kak rendi? Pantes aja tadi kak rendi keliatan sedih banget. tapi…’
“kenapa dia bisa meninggal?” tanyaku spontan. Haduuuhhh,,, harusnya
tadi dibatin aja. Jadi ga enak gini. Takut kak rendi sedih lagi. “um,,
ga usah di jawab ga papa kok kak. Maaf. Tadi spontan.” Aku langsung
menimpali kata-kataku tadi.
“dia kecelakaan.”
***
Sonia sangat puas hari ini. acara ngambek en mogok makannya berhasil
lagi. sekarang, sebuah sedan sport berwarna merah sudah terparkir di
garasinya. En besok siap mengantarnya pergi ke sekolah. Sonia bisa
membayangkan ekspresi mupeng temen-temen di sekolahnya melihat mobil
sport keren yang ga kalah sama ferarinya Sofi.
Drrrt…
drrtttt… drrrttt… hp sonia bergetar. sonia meletakkan kunci mobil yang
sedari tadi di pandanginya sambil senyum-senyum lalu beranjak dari
tempat tidurnya en berjalan kea rah meja belajar tempat dia meletakkan
hp nya.
Ada Sms.
From: Sofi
Tadi bahasa inggris ulangan, tadi lo ga masuk
Jd bsk hrs ikut susulan. Belajar yak :D
Buku lpran bio d’kmplin bsk.
PR mate hal 217 lo ngerjain yg no. ganjil.
Kimia praktek. Besok lo pewangi pakean yah. J
Lo besok masuk kan?
Lo harus masuk :D
To: sofi
Iya bawel. Besok gue masuk. :D
Sonia membalas sms Sofi lalu menyimpan kembali hp nya.
“suka suka gue dong mo masuk apa engga. Siapa lo berani-berani ngatur
gue, eh?!” sonia tersenyum sinis. Sonia memandang rak bukunya, seraya
mengingat-ingat isi sms Sofi barusan.
“buku laporan… um…
matematika…” eja sonia sambil menelusuri satu per satu punggung buku
dengan jari telunjuknya. Akhirnya sonia menemukan buku yang dicarinya.
Buku laporan biologi yang bersampul hijau, en buku paket matematika yang
super duper tebal, sonia mengambil kedua buku itu, ada sesuatu yang
ikut tertarik keluar en jatuh di lantai
“eh, foto?” sonia mengernyit lalu mengambil foto ukuran dompet yang baru saja terjatuh.
Wajah dalam foto itu ga asing. Dua gadis yang saat itu masih memakai
seragam SMP. Yang satu cantik. berkulit putih, rambutnya lurus alami,
waktu itu rambutnya masih pendek en berponi, dengan jepit rambut
berbentuk bunga warna orange di rambutnya. dia tersenyum manis kea rah
kamera, sedangkan gadis yang satunya, kulitnya sedikit lebih gelap. Tapi
meskpun begitu, dia terlihat manis, kacamata ber-frame putih bertengger
di wajah manisnya. rambutnya yang keriting di ikat dua keatas, dia juga
tersenyum kearah kamera, dua gadis itu saling berangkulan, dua gadis
yang mereka bilang ‘bersahabat’.
***
“sofi,,
hey,,, Sofia…!!” teriak seorang gadis mungil hitam manis yang berlari
kecil supaya bisa sejajar dengan orang yang di panggilnya.
“eh, Sonia.” Sofi tersenyum menyambut sahabatnya.
“ih, lo tuh,,, gue tereak… tereak dari tadi manggil lo, tapi lo nya ga noleh-noleh.” Gerutu sonia.
“ya maap. Tadi gue masih telfonan sama mama di aussy, mama hawatir
banget sama gue, makanya gue bilang klo gue asik-asik aja tinggal
disini, kan ada elo.” Sofi memasukkan hp ke saku ranselnya lalu mencubit
pipi sonia yang nyengir kesakitan.
“uhhh… sakit tauk.” Teriak sonia.
“hey… hey… ga boleh tereak-tereak. tar suara lo serak loh, bukannya
pulang sekolah nanti lo ada audisi buat jadi solois grup vocal sekolah
kita?!” sofi mengingatkan sahabatnya. Sonia tersenyum lalu mengangguk.
…
Sofi duduk di bangku panjang di sudut auditorium, dia memandang
sahabatnya yang sedang di audisi untuk menjadi penyanyi solo di grup
vocal sekolahnya, sonia tersenyum melihat sofi yang tak henti-hentinya
mengangkat tangannya sambil mulutnya komat kamit berkata ‘semangat.!!
Semangat!!’
“hey kamu.!!” seorang guru yang merupakan salah satu juri menunjuk kearahnya dari sisi panggung.
Sofi bingung. Siapa sih yang di tunjuk guru itu. sofi melihat kanan
kiri ga ada orang lain selain dia, dengan ragu-ragu dia menunjuk dirinya
sendiri ‘saya?’ guru itu mengangguk lalu melambaikan tangannya seraya
menyuruh sofi mendekat.
“kamu peserta audisi juga kan?” tanya guru itu setelah sofi berhasil mendekatinya.
“eh,?? engga bu. Saya disini Cuma nonton temen saya. Maaf klo ganggu,
klo gitu saya nunggu di luar aja.” Kata sofi ga enak hati karena merasa
dirinya telah mengganggu jalannya acara, padahal mah Cuma duduk duduk
doang.
“eh… engga. Bukan itu maksud saya. Kamu disini juga ga papa. Tapi, kenapa kamu ga ikut audisi sekalian? Kamu ga minat?”
“suara saya jelek, bu. Malu, takut di ketawain temen-temen.” Sofi nyengir.
“lho,,
kenapa harus malu. Kalo kamu memang berminat ikut audisi, kamu ikut
aja. Yang menilai bagus atau jeleknya suara kamu kan juri, bukan
temen-temen kamu. sudah, kamu ikut saja yah, ibu rasa kamu berbakat.”
Guru bertubuh gempal itu tersenyum. wajahnya angker, tapi setelah liat
senyumnya, sofi tau kalo sifat guru itu ga se angker wajahnya.
…
“sof,,, sofia…!! Gue seneeeennggg… banget hari ini.” sonia merangkul sofi yang baru saja keluar dari kelasnya.
“o, ya? kenapa? kenapa? kenapa?” sofi alay.
“um… kasih tau ga yah…” sonia pasang tampang sok misterius. Sofi buang
muka. “iya deh,,, gue kasih tau.” sonia mencubit pipi sofi.
“apaan? Buruan deh. Gue laper nih… pengen ngantin.” Sofi jutek.
“hem… lo tau ga sih,,,”
“engga.” Sofi memotong kalimat sonia.
“ye… makanya dengerin dulu.!!” sonia manyun. Sofi nyengir. “tadi kan
tara ga masuk sekolah tuh, nah gue duduk sendirian, awalnya sih gue
sebel, eh taunya riko malah duduk di sebelah gue. Kita cerita-cerita
banyak gitu. Ah,, gue harap hari ini bisa sekolah lebih lama.” Kenang
sonia.
“beh,, kirain apaan…” sofi melengos.
Sahabatnya itu emang tergila-gila banget sama temen sekelasnya yang
namanya riko itu. bener-bener tergila-gila, sampe-sampe yang diajak
ngebahas soal dia jadi ikutan gila saking bosennya.
“Sofi,, selamat yah. lo beruntung banget.” tika menyalami sofi yang sedang berjalan menuju kantin bersama Sonia.
“selamat buat apa?” sofi bingung.
“tuh,,” tika menunjuk madding di depan ruang OSIS. Lalu pergi
meninggalkan sonia en sofi yang masih kebingungan. Mereka memutuskan
untuk mampir melihat madding sebelum ke kantin, ternyata pengumuman yang
lolos masuk grup vocal en solois uda keluar. Sonia langsung antusias
membaca daftar nama itu, sementara sofi,, dia emang ikut audisi, tapi
dia ga terlalu yakin bisa bener-bener terpilih.
DAFTAR ANGGOTA VOCAL GRUP SMP TUNAS BAKTI.
Ivan Pramudya. Toni Afrizal. Nirmala Putri. Sonia Prastika…
“hah?? Gue…” gumam sonia.
“gimana? Lo lolos seleksi jadi solois??” tanya sofi yang baru saja selesai membaca ‘cerpen’ di madding.
“gue lolos, tapi Cuma jadi anggota.” Sonia kecewa.
“loh kok bisa? Padahalkan lo uda latihan keras, sampe-sampe les vocal
segala. Tu juri kupingnya budek kali yah. ga bisa denger suara bagus.
siapa sih orang bego yang sok-sok’an mo rebut posisi sahabat gue sebagai
solois, penasaran deh gue.” Sofi mulai membaca kertas berisi daftar
peserta yang lolos audisi itu, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat
kolom untuk posisi solois yang di dalamnya tertulis nama
“Sofia Pervita Somba?”
…
“hey, sof.!” Seorang cowok berkulit putih, wajahnya cakep rada
kearab-araban gitu deh, menyapa sofi yang sedang menunggu jemputan di
depan gerbang sekolah.
“eh, riko. Ada apaan?”
“engga ada apa-apa kok. Umm… lagi nunggu jemputan yah?” riko basa-basi.
“engga kok. Lagi jualan donat. Yaiya lah, lagi nunggu jemputan. Ah lo ini…” sofi gemes.
“haha. Sofi lo lucu banget sih.”
“ye… lo pikir gue ini badut apa, lucu.”
“hahahaha… ternyata yang di certain sonia tentang lo itu bener yah.”
riko ketawa. Yang diceritain sonia? Emang sonia cerita apaan? Sofi ga
ngerti.
“emang sonia cerita apaan tentang gue? Dia
ga bilang klo gue tukang jualan kacang di kebon binatang kan?” tanya
sofi dengan tampang oon nya.
“engga. Kata sonia,
selain cantik, lo tu anaknya baik, lucu, en asik kalo diajak ngobrol.
Ternyata itu semua bener. Ga salah kalo gue suka sama lo.” Jelas riko,
kali ini to the point.
“eh, apa?” sofi kaget.
“gue suka sama lo. Lo mau ga jadi cewe gue.?” Riko mengeluarkan setangkai bunga mawar putih dari balik punggungnya.
“lo… ini apaan sih? lo ga lagi nembak gue kan?” sofi ga ngerti. Serius.
Dia bener-bener ga ngerti. ‘Bukannya yang deket sama riko itu sonia?
Kenapa malah gue yang di tembak? Kalo sampe sonia tau, bisa salah faham
dia’ pikir sofi. “eh, riko. Kalo mo latihan buat nembak sonia, harusnya
lo bilang-bilang dong… kan gue bisa siap-siap. Lagian, bunga yang lo
beli tu salah. Sonia suka mawar merah, bukan mawar putih. Beli lagi gih,
cepetan.” Kata sofi asal-asalan.
“sofi, lo itu
ngomong apaan sih? gue ga ngerti. Kenapa jadi bawa-bawa sonia? gue ini
lagi nembak lo. Masa’ lo ga ngerti sih?” gantian riko yang bingung.
“eh??”
“Sofi…!! Riko…?!” sonia muncul dari balik gerbang sekolah. Matanya
berkaca-kaca menatap sofi en riko bergantian. Dia dengar semuanya. Sofi
salah tingkah, sementara riko bingung ga tau apa-apa.
“Sonia…? hey… Sonia…!!”
“Sonia… SONIA…!!” aku bangun dari tidurku. Ternyata tadi Cuma mimpi. Mimpi kok panjang bener.
Aku melirik jam beker diatas bedside tableku. Baru jam 06.30. HAH?? JAM
06.30?? aku langsung… em, bukan beranjak lagi, tapi melompat dari
tempat tidurku. Ngambil jas mandi. Masuk kamar mandi trus nyalain
shower. Eh, buka baju dulu deng. Jangan ngintip yah. ceklek. (aku nutup pintu)
***
Bugh… bugh… bugh…
Suara sepatuku menggema di koridor lantai 2 yang uda sepi. bel uda
bunyi 5 menit lalu, tapi untung aja aku masii bisa masuk, ini semua
berkat kemurahan hati mbah Mario, security yang sebenernya sih tegas
banget sama anak-anak yang suka telat en nglanggar peraturan, untung
aja aku masuk daftar pengecualian haha… aku emang lumayan deket sama
mbah Mario, eit… bukan deket karena lagi PDKT loh ya, tapi… karena aku
suka nemenin mbah Mario ngobrol sambil nunggu jemputan kalo pulang
sekolah, kadang-kadang aku juga suka iseng ikut bantuin dia nyebrangin
anak-anak yang mo naik bis di halte depan sekolah. Mungkin karena itu
dia baik sama aku, yea… emang uda jadi rahasia umum kan, kalo orang yang
nabur benih, pasti bakal manen buahnya, salah satunya kayak aku ini. :D
Stop. Udahan dulu ceritanya. Aku harus cepet-cepet masuk kelas, jam
pertama pelajarannya mbah kong. Kalo ga mau nyanyi didepan kelas, aku
harus lebih dulu sampe kelas sebelum keduluan mbah kong.
“hosh… hosh… hosh…” aku menggap-menggap. Cape abis lari-larian. Dari
luar kelas aku bisa denger Bacaan asma ul husna baru aja selesai diputer
dari soundsystem. Aku ngintip dari jendela, ternyata kursi guru masi
kosong. Bagus deh. Ternyata telat itu ga enak. Deg-degan mulu bawaannya.
Pisan iki aeeeeh, Ga lagi-lagi deh.
“sofi…!!
Kirain lo ga masuk.” Tegur sonia yang melihatku memasuki kelas. Aku
nyengir. Masii belom kuat ngomong. Cape banget. serius deh. Serius
bo’ong nya maksudku. Hahaha :D (aku GJ lagi yah? maap deh,, perhatian
cabang-cabang ini, antara lepi, Bola, tinju, en buku kimia haha. ckckck
Maruk bener yak… :D)
“nih, minum.” Tiba-tiba izal dateng sambil nyodorin sebotol air mineral dingin.
“hey zal…!!” aku melirik ke bangku di deretan belakang, ada susan yang
protes karena air minerlanya di rebut izal en diberikan padaku.
Aku menatap galak tampang innocent izal.
“udah, ga usah pasang tampang sok galak deh, lo tu bukannya nakutin
tapi malah keliatan kayak orang pengen pup.” Ledek izal. “nih, cepetan
minum gih.” Paksa izal. apa boleh buat, toh aku juga aus banget.
ujung-ujungnya aku minum juga deh, maap yya susan… :p
Izal
tersenyum puas. Lalu pergi meninggalkan kursiku. Aku melihatnya berhenti
sebentar di bangku susan sebelum dia duduk di kursinya.
“kok lo bisa telat sih? tumben.” Tanya sonia sambil mengeluarkan buku catatan bahasa indonesianya.
“lagi pengen aja.” Jawabku ngasal. Liat sonia gini, aku jadi inget lagi
sama mimpiku semalem. Sebenernya itu bukan mimpi, tapi lebih mirip
kayak masa lalu yang di flashback.
Aku baru sadar soal
perubahan sonia. sonia yang dulu hitam manis, sekarang uda berubah jadi
cewek cantik berkulit putih. Rambutnya yang kriting en selalu di ikat
dua, sekarang terurai lurus kayak model iklan shampoo. Entah sejak kapan
sonia berubah begini. Yang jelas sonia yang sekarang, bukan lagi sonia
yang dulu.
“Sof, lo pernah ngerasa ga kalo selama ini lo
tu saingan sama sahabat lo sendiri?” tanya Susan yang entah sejak kapan
telah duduk di kursi Sonia yang kosong.
“eh? maksud lo saingan?” tanyaku ga ngerti. Kenapa susan tiba-tiba nanyain itu?
“yea… saingan. Dari pertama liat hubungan lo sama Sonia, menurut gue,
kalian tu lebih mirip sebagai lawan daripada teman. Terutama buat
Sonia.”
lagi-lagi aku inget sama kata-katanya susan. ‘gue saingan sama sonia?? sonia bersaing sama gue?? Gimana bisa?’ tanyaku dalam hati. Aku melirik sonia yang sedang menyelesaikan laporan biologinya.
Jujur aja, aku sendiri emang ga tau persahabatan jenis apa yang
terjalin antara aku en sonia selama ini. dulu, duluuuu banget, aku
ngerasa kalo persahabatan antara aku en sonia tu tulus banget. kita
saling support satu sama lain, susah senang kita sama-sama. Masalahku
masalahnya, en masalah dia, ya masalahku juga. tapi sekarang,,, sonia
emang masih terbuka sama aku, tapi dalam beberapa hal aja , GA semuanya.
Padahal kalo dulu, hal yang ga seharusnya aku tau dari dia pun, dia
malah ceritain ke aku, hal apa itu, ya apa aja pokonya.
Sahabat?
Kalo dipikir-pikir lagi, mungkin kata itu terlalu berharga buatku en
sonia. bukannya sahabat itu selalu ada disaat suka maupun duka? Bukannya
sahabat itu, orang yang selalu rela nunggu en ada disisi kita meskipun
kita ga pernah minta? Tapi aku sama sonia? kita jalan berdua kalo lagi
ada aja, kalo sonia lagi ga ada, aku lebih suka jalan sendiri, sonia
juga gitu, dia ga pernah sengaja ngajak jalan aku. kalo pun iya aku en
sonia sahabatan, itu dulu. Sekarang,, hum… yang dibilang susan tu emang
seratus persen bener, kalo aku en sonia lebih keliatan kayak lawan
ketimbang teman, jujur, aku emang uda lama banget berasa kalo sonia itu
saingan sama aku, tapi sampe saat ini aku belum tau dalam hal apa en
kenapa dia saingan sama aku,, maybe aku bisa dapetin jawabannya nanti.
“kemarin lo sakit apaan? Lo ga keracunan gara-gara abis makan hidangan di pesta gue kan?” ledekku.
“iya nih. gue keracunan. Keracunan virus cinta lo…” sonia mencolek
daguku genit. Aku menepis tangan sonia en pasang tampang mo muntah.
Sonia tertawa geli.
Aku en sonia ga sadar, kalo ada sosok dikelas ini yang lagi serius banget ngamatin kemunafikan kita.
***
Rendy
duduk sendiri di sudut ‘lalala café’ dia asik sendiri dengan
facebooknya. kemarin Sonia menandainya foto-foto ketika berlibur di
anyer sebulan yang lalu.
“hey bro! sendirian aja nih?” marco
si pemilik café sekaligus sahabat rendy menghampirinya lalu duduk
disampingnya. Rendy menoleh ke arahnya, tersenyum yang artinya ‘iya’,
lalu kembali memandang monitor laptop-nya yang sedang menampilkan
fotonya, Sonia, dan sofi, yang duduk di batu memandang laut.
“lho, itu bukannya sofi?” marco menunjuk sofi yang duduk di sebelah kiri rendi.
“eh? lo kenal sofi?”
“hem,, kenal sih engga, tapi waktu itu temen gue kesini sama dia. dia
cerita sama gue klo cewek itu namanya sofi, en dia suka sama cewek itu.
mungkin sekarang mereka uda jadian.” Jelas marco.
“temen lo? Siapa” tanya rendi penasaran.
“izal.” Jawab marco santai, sambil menyeruput kopi espresso dari cangkir rendi. Izal? Apa mungkin? Rendi mengernyitkan dahinya. Berfikir.
“izal anak SMA NUSANTARA itu?” rendi memastikan. Dia melihat marco yang mengangguk.
“lo kenal Izal juga?” ganti marco yang bertanya.
***
Sonia meletakkan kotak pensil en alfalinknya di pinggir wastafel. Dia
baru saja ulangan bahasa inggris, sebenernya sih ulangannya kemarin tp
karena dia ga masuk jadi hari ini ikut susulan.
“ya ampun,,
soalnya susah-susah banget. wajah gue sampe kusut begini.” Gumam sonia
sambil menatap wajahnya sendiri di cermin lalu mencucinya dengan facial
yang selalu dibawanya.
“sonia… sonia… sampe kapan sih lo mo terus-terusan pake topeng lo itu.?”
to be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar