PART 9
“hemm,,
lo ga mau jawab yah. ya udah, kalo gitu gue aja deh yang jawab. Em,, sory
banget yah zal gue ga bisa…”Sofi melepas genggaman Izal. Izal menarik nafas
penjang. Ga kebayang deh, udah dibela-belain ngebuang harga diri buat nembak Sofi,
tapi ujung-ujungnya di tolak. Tar sepulang dari sini, harus buru-buru cabut ke
luar negri, operasi plastic, balik ke Indonesia dengan wajah dan identitas
baru. Gila… sinetron abisss…
“gue… ga bisa kalo harus nolak lo.” Sofi
yang ga tega liat wajah innocent Izal yang memelas, langsung melanjutkan
kata-katanya, dan mengalungkan lengannya di leher Izal.
“lo serius? Berarti sekarang kita resmi
jadian?” tanya Izal yang ekspresinya berubah 180 derajat dari sebelumnya. Sofi
menggeleng.
“belum. Beliin dulu gue permen kapas. Baru
kita jadian.” Sofi menunjuk stan permen kapas di sebrang jalan.
“kirain uda lupa.” Cibir Izal. “ok. anything
for you, babe. Lo tunggu disini yah. gue beliin buat lo.” Kata Izal. Sofi
mengangguk.
“jadian sama Izal? ini nyata ga sih??”
gumam Sofi sambil memandang Izal yang sedang meminta sebungkus besar permen
kapas. “au… sakit…” Sofi mencubit pipinya sendiri. “ini nyata?? Serius??
Hahaha… akhirnya.” Sofi senyum-senyum sendiri. “lo liat Sonia, Gue ga perlu
hawatir lagi. Izal milik gue sekarang. Hahaha…” ketawa evil.
Izal telah berhasil membelikannya sebuah
permen kapas berukuran jumbo berbentuk hati. Izal mengangkat permen kapas itu
menunjukannya pada Sofi yang ada di sebrang sana. Sofi tersenyum. mungkin Izal
terlanjur dibutakan oleh cinta. Tanpa melihat kanan kiri, Izal langsung
menyebrang jalan. Sofi melihat ada motor berkecepatan tinggi melaju dari arah
selatan. Sofi member isyarat pada Izal untuk minggir, tapi Izal seperti tidak
mendengarkannya. Dia terus berjalan. Motor itu semakin dekat.
“Izallll… awas……!!!” Sofi mendorong Izal
ke tepi. Tubuhnya terjatuh bersama Izal. motor itu lewat begitu saja dan mereka
selamat. Setidaknya selamat dari tabrakan motor itu.
“Sofi,, lo ga papa kan??” tanya Izal pada Sofi
yang ada di pelukannya.
“zal,, lo,, ga,, pa,, pa,,?” Sofi balik
bertanya seraya melepaskan pelukan Izal, tangannya menyentuh wajah Izal yang
tampak shock, tapi tidak terluka sedikit pun.
“engga. Gue ga papa. Lo ga papa kan??”
tanya Izal panik.
“syu…kur…lah. Ka…lo. Ga-pa-pa.” bisik Sofi
lemah, dan dia tak sadarkan diri.
“Sofiii…!! Sofiii…!!” Izal mengguncang
tubuh Sofi. Izal menarik tangannya yang menyangga kepala Sofi. banyak darah
ditangannya. Ternyata ketika terjatuh tadi, kepala Sofi terbentur batu yang ada
di trotoar jalan.
Orang-orang yang melihat kejadian itu
lengsung mengerumuni Izal. Izal meminta seseorang untuk mengambilkan mobilnya.
Sementara itu…
Sonia berjalan sendiri di area stadion.
entah apa yang membawanya kesini. Niat dari rumah Cuma pengen jalan jalan biar
ga boring karena satnite Cuma sendirian. Eh, tau-tau lewat daerah sini dan
tanpa tujuan yang jelas parkir mobil gitu aja dan jalan sendirian.
“eh,, rame-rame itu apaan yah?” gumam Sonia
sambil menatap kerumunan orang di trotoar jalan. Tak lama kemudian, sebuah
mobil Toyota yaris berwarna putih berhenti di dekat kerumunan itu.
“eh, itu kan… mobilnya… jangan-jangan…
tapi apa mungkin?” Sonia berlari mendekati kerumunan itu. tubuhnya yang mungil
mempermudah dirinya untuk selap-selip diantara tubuh besar dihadapannya.
“Izal??” pekik Sonia. matanya membulat
melihat Izal membopong tubuh Sofi yang tidak sadarkan diri dan penuh darah. “Izal…
Sofi kenapa?? ini ada apa??” tanya Sonia kritis.
“ga ada waktu buat jelasinnya. Lo masuk
gih. Pangku Sofi. Harus ke rumah sakit secepatnya.” Perintah Izal. Sonia
mengangguk lalu membuka pintu belakang mobil Izal.
***
“ARGGHHH… BRENGSEK…!!!” Izal meninju
dinding rumah sakit. mengutuk dirinya sendiri, lalu terpuruk di kursi tunggu
sambil meremas-remas rambutnya. Sonia duduk disamping Izal, mengelus
punggungnya mencoba menenangkan.
“zal,, sebenernya ada apa sih? Sofi kenapa?”
tanya Sonia takut-takut.
Izal memandang pintu UGD yang masih
tertutup. Dokter masih belum keluar juga. sudah satu jam lebih, dia menunggu
kabar dari dokter yang sedang menangani Sofi di dalam sana. Izal menarik nafas
panjang, dan mengusap wajahnya.
“Sofi kecelakaan waktu mo nolongin gue.
Argh… kenapa sih Sofi bego banget.!! harusnya dia ga usah nolongin gue. Harusnya
gue yang lagi didalem situ. Bukan dia.!!” sesal Izal. Sonia menarik nafas
panjang.
“tadi gue uda telfon kak theoo. Dia lagi
otw kesini.” Kata Sonia keluar dari topik pembicaraan.
‘ceklek’ pintu UGD terbuka. Tak lama
kemudian Dokter bersama seorang suster keluar dari dalam. Izal langsung
beranjak dari tempatnya menghampiri dokter, diikuti oleh Sonia.
“dok, bagaimana keadaan teman saya?” tanya
Izal cemas.
“kondisinya kritis. Pasien kehilangan
banyak darah. Dia harus segera mendapatkan tambahan darah, sementara stok darah
yang sesuai dengan darah pasien di rumah sakit ini sedang kosong.” Sesal
dokter.
“memangnya golongan darah Sofia pa dok?”
tanya Izal kritis.
“golongan darahnya O.” jelas dokter.
“O?” gumam Izal. hast… kenapa yang kayak
begini mesti kejadian sih. sinetron banget. Izal mengutuk keadaan. Dan hanya
itu yang bisa dilakukannya. Dia sendiri tak tau harus melakukan apa. Kak theoo
memang lagi otw, tapi, kak theoo ga mungkin bisa diandalkan. Dari jakarta Butuh
waktu 3 jam untuk bisa sampe bandung, yea mungkin Cuma 1 jam kalo pengen ga
selamet. Stop. Ini serius. Sofi kritis dan ga mungkin bisa bertahan selama itu.
mungkin inilah saatnya melakukan apa yang biasa dilakukan orang-orang yang lagi
sinetron.
“kalo gitu dokter boleh ambil darah saya.”
Izal mengajukan dirinya.
“golongan darah kamu O?” tanya dokter.
“um… sebenernya saya ga tau.” jawab Izal
bloon. Dokternya gubrak.
“baiklah. Kamu bisa ikut kami untuk di
periksa.” Kata dokter. Izal mengangguk.
“Sonia, lo juga yah?” bisik Izal pada Sonia
yang dari tadi Cuma jadi penonton adegan sinetron amatir yang ada dihadapannya.
“eh?? gue??” pekik Sonia pelan. Izal
melotot mengancam. “kenapa lo jadi bawa-bawa gue?” gentian Sonia yang melotot.
Tapi Izal ga peduli dan langsung menarik tangan Sonia, lalu mengintil dokter
yang berjalan menuju lab.
Beberapa waktu kemudian…
Suster keluar dari lab lalu menghampiri Izal
dan Sofi yang duduk di kursi tunggu depan lab.
Izal dan Sofi langsung berdiri melihat
suster yang berjalan mendekat kearahnya.
“kami sudah memeriksa sample darah yang
masing-masing kami ambil dari kalian, dan selamat. darah milik saudara Sonia,
cocok dengan yang dibutuhkan pasien.” Jelas suster tanpa menunggu untuk
ditanya. Izal tersenyum lega. Sementara Sonia melongo tak percaya, tapi tak
lama kemudian ekspresinya berubah menjadi sinis.
“lo denger kan Sonia, darah lo cocok sama
punya nya Sofi, lo bisa nolongin dia. dan lo harus nolongin dia.” Izal
mengguncang tubuh Sonia lalu memeluknya.
“mari saudara Sonia, ikut saya untuk
pengambilan darah.”
“em,, suster, boleh saya bicara sama Izal
sebentar?” tanya Sonia. Izal mengernyit.
“baiklah. Tapi kalo bisa jangan terlalu
lama. Karena pasien membutuhkan pertolongan anda secepatnya.” Kata suster itu,
lalu berlalu meninggalkan Sonia dan Izal berdua.
“mo ngomong apa sih? lo ga denger apa, Sofi
butuh darah lo secepatnya. Lo ikut suster dulu gih, ngomongnya ntaran aja.”
“gue ga mau donor darah.” Kata Sonia
dingin.
“apa??” Izal melotot kaget.
“gue ga mau donor darah.” Sonia menegaskan
kalimatnya.
“Sonia, lo jangan bercanda deh.” Izal ga
percaya dengan kata-kata Sonia.
“gue serius, Izal. gue ga bercanda. Gue ga
mau donorin darah gue buat Sofi. Ngapain? ga ada untungnya juga buat gue.
Malahan buat gue, lebih bagus kalo dia mati.” Sonia sinis.
“lo kenapa sih Sonia? maksud lo apaan tuh
ngomong begitu, eh? lo sadar ga sih sama omongan lo? Sadar-sadar-sadar!!” Izal
menepuk pipi Sonia.
“gue sepenuhnya sadar Izal. harus berapa
kali sih gue bilang kalo gue ga mau.” Sonia gemas.
“eh, Sonia Sofi itu sahabat lo. Kok lo tega
sih lakuin itu sama dia.” suara Izal mulai meninggi.
“apa? Gue sama sahabatan sama siapa? Sofi
itu bukan sahabat gue. Kalo pun iya, itu dulu. lagian, lo ga usah sok-sok an
bawa-bawa persahabatan kita deh. Gue tau, lo tu Cuma manfaatin gue doang, lo
pengen gue nolongin Sofi biar dia tetep
hidup kan? biar lo bisa enak-enakan pacaran sama dia kan. dan gue, Cuma
dianggep tebu yang habis manis sepah dibuang.” Sonia melirik Izal sinis.
“gue ga kayak gitu Sonia!! gue emang
sayang sama Sofi tapi bukan itu yang gue fikirin sekarang. Gue Cuma pengen dia
selamat. gue ga mau terjadi apa-apa sama Sofi gara-gara kesalahan gue. Gue ga
peduli meskipun gue ga bisa sama dia nanti, yang penting dia selamat sekarang.”
“oh ya? hem ini menarik.” Gumam Sonia
masih tetap pada kesinisannya. “ok. kalo gitu gue mau donorin darah gue buat Sofi.
Tapi gue punya satu syarat.”
“syarat?” Izal mengernyit. Perasaannya
mulai ga enak.
“iya. gue mau donorin darah gue buat Sofi,
tapi syaratnya lo harus pacaran sama gue. Gimana?” Sonia tersenyum licik.
“Sonia… gue…”
“bukannya barusan lo bilang kalo lo ga
peduli meskipun lo ga bisa milikin Sofi, yang penting buat lo adalah dia bisa
selamat. barusan lo bilang gitu kan? yea,,, sekarang pilihan ada di tangan lo
sih. lo nolak gue tapi Sofi ga selamat, ato lo jadian sama gue, tapi lo bisa
liat Sofi sehat lagi.” Sonia memotong kalimat Izal.
“maaf, apa kalian sudah selesai? Kondisi
pasien semakin kritis, dia butuh bantuan secepatnya.” Kalimat suster itu
membuat keadaan antara Sonia dan Izal semakin tegang.
“ok. lo ikut suster gih. Gue tunggu lo
disini.”
Sonia
tersenyum puas mendengar kalimat Izal. dia tau Izal akan setuju. Sedangkan Izal
ga punya waktu buat pikir-pikir lagi. semuanya uda jelas kalo Cuma Sofi yang
dia suka, tapi nolak permintaan Sonia itu sama artinya dengan bunuh Sofi secara
ga langsung.
***
Izal
melirik jam di dinding ruangan Sofi. Uda jam 11:45, hampir tengah malem.
Kondisi Sofi sudah stabil. Meskipun belum sadar, tapi Sofi udah bisa dipindah
ke ruang perawatan sekarang. Izal duduk di samping tempat tidur Sofi, memandang
Sofi yang masih koma. wajahnya polos, seperti bayi yang lagi tidur lelap.
Kepalanya di balut perban. Dan ada sedikit luka gores di pipi sebelah kirinya. Izal
mengangkat tangannya, mencoba mengelus luka itu tapi…
“ekhm…”
tegur Sonia sinis yang sedari tadi tidak pernah melepas pandangannya dari pacar
barunya itu. “mungkin kamu harus mulai membiasakan diri, karena gerak-gerik
kamu akan lebih terbatas sekarang. Kamu ga lupa sama status kamu yang baru aja
berubah kan? sekarang kamu berpacaran. Dan cewe manapun ga akan suka kalo
cowonya baik-baikin cewe lain.” Sonia beranjak dari sofa dan mendekati Izal.
“iya…
iya… gue tau.” Izal mendengus kesal.
“uda
pacaran kok masih pake lo-gue sih? pake aku-kamu dong…” Sonia menyernyit.
“gue
belum biasa Sonia…”
‘ceklek’
pintu kamar Sofi terbuka dari luar.
“Sofi??
Gimana keadaannya?” tanya kak theoo panik dan buru-buru mendekati tempat tidur
adik kesayangannya itu.
“kondisinya
uda stabil kok kak. Tinggal nunggu dia sadar.” Jelas Izal.
“Sofi…
Sofi… kamu ini ada-ada aja.” kak theoo mengelus pipi Sofi.
“um… ngomong-ngomong, kak theoo kan uda
dateng nih, anterin aku pulang yuk zal. bunda pasti hawatir banget sama aku. hp
aku mati jadi ga bisa telfon bunda.” Pinta Sofi.
“lo pulang sendiri aja gih. Nih, pake
mobil gue.” Izal cuek lalu menyerahkan kunci mobilnya pada Sonia.
“Izal,,, gue kan cewe, masa malem-malem di
suruh nyetir sendirian sih…” protes Sonia.
“ya udah, lo anter Sonia pulang aja gih.
Sekalian lo juga istirahat. Thanks banget yah uda jagain Sofi.” Kak theoo
menepuk pundak Izal. Sofi tersenyum puas. Izal beranjak dari kursinya
ogah-ogahan.
“kita pulang dulu ya kak.” Sonia pamit,
dan langsung menarik tangan Izal membawanya keluar kamar.
***
Rendi merebahkan dirinya diatas tempat
tidur. Dia baru saja kembali dari liburannya di flores seminggu terakhir ini.
mungkin memang liburanlah yang sedang dia butuhkan. Setelah melepas semua penat
yang ada difikirannya selama ini dan meninggalkannya di flores sana, Rendi
merasa lebih siap untuk tinggal di rumah. Marco emang pintar. Pikirnya.
“Izal… kamu dari mana aja sih, tengah
malam begini baru pulang?” terdengar suara mama dari bawah.
Rendi merasa kerongkongannya kering. Dia
memutuskan untuk mengambil air minum di dapur, sebelum mandi dan akhirnya
tidur. Rendi membuka pintu kamarnya. Dia bisa melihat mama yang sedang bicara
dengan Izal di ruang tengah.
“kenapa baju kamu belepotan darah begini?
Kamu habis ngapain? kamu berantem eh?” tanya mama panik seraya menunjuk kaos
dan blazer Izal yang penuh bercak darah.
“engga ma. Izal ga berantem. Maaf Izal
baru pulang, tadi Izal di rumah sakit.” jelas Izal.
“rumah sakit?” mama heran.
“iya. Sofi kecelakaan ma, Izal nunggu dia
disana…” jelas Izal.
Mata Rendi membulat mendengar kalimat
Izal. Sofi kecelakaan?
To Be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar