Sabtu, 10 Desember 2011

.:: Eeniee Meeniiee ::. pt. 9


PART 9

      “hemm,, lo ga mau jawab yah. ya udah, kalo gitu gue aja deh yang jawab. Em,, sory banget yah zal gue ga bisa…”Sofi melepas genggaman Izal. Izal menarik nafas penjang. Ga kebayang deh, udah dibela-belain ngebuang harga diri buat nembak Sofi, tapi ujung-ujungnya di tolak. Tar sepulang dari sini, harus buru-buru cabut ke luar negri, operasi plastic, balik ke Indonesia dengan wajah dan identitas baru. Gila… sinetron abisss…
      “gue… ga bisa kalo harus nolak lo.” Sofi yang ga tega liat wajah innocent Izal yang memelas, langsung melanjutkan kata-katanya, dan mengalungkan lengannya di leher Izal.
      “lo serius? Berarti sekarang kita resmi jadian?” tanya Izal yang ekspresinya berubah 180 derajat dari sebelumnya. Sofi menggeleng.
      “belum. Beliin dulu gue permen kapas. Baru kita jadian.” Sofi menunjuk stan permen kapas di sebrang jalan.
      “kirain uda lupa.” Cibir Izal. “ok. anything for you, babe. Lo tunggu disini yah. gue beliin buat lo.” Kata Izal. Sofi mengangguk.
      “jadian sama Izal? ini nyata ga sih??” gumam Sofi sambil memandang Izal yang sedang meminta sebungkus besar permen kapas. “au… sakit…” Sofi mencubit pipinya sendiri. “ini nyata?? Serius?? Hahaha… akhirnya.” Sofi senyum-senyum sendiri. “lo liat Sonia, Gue ga perlu hawatir lagi. Izal milik gue sekarang. Hahaha…” ketawa evil.
      Izal telah berhasil membelikannya sebuah permen kapas berukuran jumbo berbentuk hati. Izal mengangkat permen kapas itu menunjukannya pada Sofi yang ada di sebrang sana. Sofi tersenyum. mungkin Izal terlanjur dibutakan oleh cinta. Tanpa melihat kanan kiri, Izal langsung menyebrang jalan. Sofi melihat ada motor berkecepatan tinggi melaju dari arah selatan. Sofi member isyarat pada Izal untuk minggir, tapi Izal seperti tidak mendengarkannya. Dia terus berjalan. Motor itu semakin dekat.
      “Izallll… awas……!!!” Sofi mendorong Izal ke tepi. Tubuhnya terjatuh bersama Izal. motor itu lewat begitu saja dan mereka selamat. Setidaknya selamat dari tabrakan motor itu.
      “Sofi,, lo ga papa kan??” tanya Izal pada Sofi yang ada di pelukannya.
      “zal,, lo,, ga,, pa,, pa,,?” Sofi balik bertanya seraya melepaskan pelukan Izal, tangannya menyentuh wajah Izal yang tampak shock, tapi tidak terluka sedikit pun.
      “engga. Gue ga papa. Lo ga papa kan??” tanya Izal panik.
      “syu…kur…lah. Ka…lo. Ga-pa-pa.” bisik Sofi lemah, dan dia tak sadarkan diri.
      “Sofiii…!! Sofiii…!!” Izal mengguncang tubuh Sofi. Izal menarik tangannya yang menyangga kepala Sofi. banyak darah ditangannya. Ternyata ketika terjatuh tadi, kepala Sofi terbentur batu yang ada di trotoar jalan.
      Orang-orang yang melihat kejadian itu lengsung mengerumuni Izal. Izal meminta seseorang untuk mengambilkan mobilnya.
      Sementara itu…
      Sonia berjalan sendiri di area stadion. entah apa yang membawanya kesini. Niat dari rumah Cuma pengen jalan jalan biar ga boring karena satnite Cuma sendirian. Eh, tau-tau lewat daerah sini dan tanpa tujuan yang jelas parkir mobil gitu aja dan jalan sendirian.
      “eh,, rame-rame itu apaan yah?” gumam Sonia sambil menatap kerumunan orang di trotoar jalan. Tak lama kemudian, sebuah mobil Toyota yaris berwarna putih berhenti di dekat kerumunan itu.
      “eh, itu kan… mobilnya… jangan-jangan… tapi apa mungkin?” Sonia berlari mendekati kerumunan itu. tubuhnya yang mungil mempermudah dirinya untuk selap-selip diantara tubuh besar dihadapannya.
      “Izal??” pekik Sonia. matanya membulat melihat Izal membopong tubuh Sofi yang tidak sadarkan diri dan penuh darah. “Izal… Sofi kenapa?? ini ada apa??” tanya Sonia kritis.
      “ga ada waktu buat jelasinnya. Lo masuk gih. Pangku Sofi. Harus ke rumah sakit secepatnya.” Perintah Izal. Sonia mengangguk lalu membuka pintu belakang mobil Izal.

***

      “ARGGHHH… BRENGSEK…!!!” Izal meninju dinding rumah sakit. mengutuk dirinya sendiri, lalu terpuruk di kursi tunggu sambil meremas-remas rambutnya. Sonia duduk disamping Izal, mengelus punggungnya mencoba menenangkan.
      “zal,, sebenernya ada apa sih? Sofi kenapa?” tanya Sonia takut-takut.
      Izal memandang pintu UGD yang masih tertutup. Dokter masih belum keluar juga. sudah satu jam lebih, dia menunggu kabar dari dokter yang sedang menangani Sofi di dalam sana. Izal menarik nafas panjang, dan mengusap wajahnya.
      “Sofi kecelakaan waktu mo nolongin gue. Argh… kenapa sih Sofi bego banget.!! harusnya dia ga usah nolongin gue. Harusnya gue yang lagi didalem situ. Bukan dia.!!” sesal Izal. Sonia menarik nafas panjang.
      “tadi gue uda telfon kak theoo. Dia lagi otw kesini.” Kata Sonia keluar dari topik pembicaraan.
      ‘ceklek’ pintu UGD terbuka. Tak lama kemudian Dokter bersama seorang suster keluar dari dalam. Izal langsung beranjak dari tempatnya menghampiri dokter, diikuti oleh Sonia.
      “dok, bagaimana keadaan teman saya?” tanya Izal cemas.
      “kondisinya kritis. Pasien kehilangan banyak darah. Dia harus segera mendapatkan tambahan darah, sementara stok darah yang sesuai dengan darah pasien di rumah sakit ini sedang kosong.” Sesal dokter.
      “memangnya golongan darah Sofia pa dok?” tanya Izal kritis.
      “golongan darahnya O.” jelas dokter.
      “O?” gumam Izal. hast… kenapa yang kayak begini mesti kejadian sih. sinetron banget. Izal mengutuk keadaan. Dan hanya itu yang bisa dilakukannya. Dia sendiri tak tau harus melakukan apa. Kak theoo memang lagi otw, tapi, kak theoo ga mungkin bisa diandalkan. Dari jakarta Butuh waktu 3 jam untuk bisa sampe bandung, yea mungkin Cuma 1 jam kalo pengen ga selamet. Stop. Ini serius. Sofi kritis dan ga mungkin bisa bertahan selama itu. mungkin inilah saatnya melakukan apa yang biasa dilakukan orang-orang yang lagi sinetron.
      “kalo gitu dokter boleh ambil darah saya.” Izal mengajukan dirinya.
      “golongan darah kamu O?” tanya dokter.
      “um… sebenernya saya ga tau.” jawab Izal bloon. Dokternya gubrak.
      “baiklah. Kamu bisa ikut kami untuk di periksa.” Kata dokter. Izal mengangguk.
      “Sonia, lo juga yah?” bisik Izal pada Sonia yang dari tadi Cuma jadi penonton adegan sinetron amatir yang ada dihadapannya.
      “eh?? gue??” pekik Sonia pelan. Izal melotot mengancam. “kenapa lo jadi bawa-bawa gue?” gentian Sonia yang melotot. Tapi Izal ga peduli dan langsung menarik tangan Sonia, lalu mengintil dokter yang berjalan menuju lab.
      Beberapa waktu kemudian…
      Suster keluar dari lab lalu menghampiri Izal dan Sofi yang duduk di kursi tunggu depan lab.
      Izal dan Sofi langsung berdiri melihat suster yang berjalan mendekat kearahnya.
      “kami sudah memeriksa sample darah yang masing-masing kami ambil dari kalian, dan selamat. darah milik saudara Sonia, cocok dengan yang dibutuhkan pasien.” Jelas suster tanpa menunggu untuk ditanya. Izal tersenyum lega. Sementara Sonia melongo tak percaya, tapi tak lama kemudian ekspresinya berubah menjadi sinis.
      “lo denger kan Sonia, darah lo cocok sama punya nya Sofi, lo bisa nolongin dia. dan lo harus nolongin dia.” Izal mengguncang tubuh Sonia lalu memeluknya.
      “mari saudara Sonia, ikut saya untuk pengambilan darah.”
      “em,, suster, boleh saya bicara sama Izal sebentar?” tanya Sonia. Izal mengernyit.
      “baiklah. Tapi kalo bisa jangan terlalu lama. Karena pasien membutuhkan pertolongan anda secepatnya.” Kata suster itu, lalu berlalu meninggalkan Sonia dan Izal berdua.
      “mo ngomong apa sih? lo ga denger apa, Sofi butuh darah lo secepatnya. Lo ikut suster dulu gih, ngomongnya ntaran aja.”
      “gue ga mau donor darah.” Kata Sonia dingin.
      “apa??” Izal melotot kaget.
      “gue ga mau donor darah.” Sonia menegaskan kalimatnya.
      “Sonia, lo jangan bercanda deh.” Izal ga percaya dengan kata-kata Sonia.
      “gue serius, Izal. gue ga bercanda. Gue ga mau donorin darah gue buat Sofi. Ngapain? ga ada untungnya juga buat gue. Malahan buat gue, lebih bagus kalo dia mati.” Sonia sinis.
      “lo kenapa sih Sonia? maksud lo apaan tuh ngomong begitu, eh? lo sadar ga sih sama omongan lo? Sadar-sadar-sadar!!” Izal menepuk pipi Sonia.
      “gue sepenuhnya sadar Izal. harus berapa kali sih gue bilang kalo gue ga mau.” Sonia gemas.
      “eh, Sonia Sofi itu sahabat lo. Kok lo tega sih lakuin itu sama dia.” suara Izal mulai meninggi.
      “apa? Gue sama sahabatan sama siapa? Sofi itu bukan sahabat gue. Kalo pun iya, itu dulu. lagian, lo ga usah sok-sok an bawa-bawa persahabatan kita deh. Gue tau, lo tu Cuma manfaatin gue doang, lo pengen gue nolongin  Sofi biar dia tetep hidup kan? biar lo bisa enak-enakan pacaran sama dia kan. dan gue, Cuma dianggep tebu yang habis manis sepah dibuang.” Sonia melirik Izal sinis.
      “gue ga kayak gitu Sonia!! gue emang sayang sama Sofi tapi bukan itu yang gue fikirin sekarang. Gue Cuma pengen dia selamat. gue ga mau terjadi apa-apa sama Sofi gara-gara kesalahan gue. Gue ga peduli meskipun gue ga bisa sama dia nanti, yang penting dia selamat sekarang.”
      “oh ya? hem ini menarik.” Gumam Sonia masih tetap pada kesinisannya. “ok. kalo gitu gue mau donorin darah gue buat Sofi. Tapi gue punya satu syarat.”
      “syarat?” Izal mengernyit. Perasaannya mulai ga enak.
      “iya. gue mau donorin darah gue buat Sofi, tapi syaratnya lo harus pacaran sama gue. Gimana?” Sonia tersenyum licik.
      “Sonia… gue…”
      “bukannya barusan lo bilang kalo lo ga peduli meskipun lo ga bisa milikin Sofi, yang penting buat lo adalah dia bisa selamat. barusan lo bilang gitu kan? yea,,, sekarang pilihan ada di tangan lo sih. lo nolak gue tapi Sofi ga selamat, ato lo jadian sama gue, tapi lo bisa liat Sofi sehat lagi.” Sonia memotong kalimat Izal.
      “maaf, apa kalian sudah selesai? Kondisi pasien semakin kritis, dia butuh bantuan secepatnya.” Kalimat suster itu membuat keadaan antara Sonia dan Izal semakin tegang.
      “ok. lo ikut suster gih. Gue tunggu lo disini.”
Sonia tersenyum puas mendengar kalimat Izal. dia tau Izal akan setuju. Sedangkan Izal ga punya waktu buat pikir-pikir lagi. semuanya uda jelas kalo Cuma Sofi yang dia suka, tapi nolak permintaan Sonia itu sama artinya dengan bunuh Sofi secara ga langsung.
     
***

Izal melirik jam di dinding ruangan Sofi. Uda jam 11:45, hampir tengah malem. Kondisi Sofi sudah stabil. Meskipun belum sadar, tapi Sofi udah bisa dipindah ke ruang perawatan sekarang. Izal duduk di samping tempat tidur Sofi, memandang Sofi yang masih koma. wajahnya polos, seperti bayi yang lagi tidur lelap. Kepalanya di balut perban. Dan ada sedikit luka gores di pipi sebelah kirinya. Izal mengangkat tangannya, mencoba mengelus luka itu tapi…
“ekhm…” tegur Sonia sinis yang sedari tadi tidak pernah melepas pandangannya dari pacar barunya itu. “mungkin kamu harus mulai membiasakan diri, karena gerak-gerik kamu akan lebih terbatas sekarang. Kamu ga lupa sama status kamu yang baru aja berubah kan? sekarang kamu berpacaran. Dan cewe manapun ga akan suka kalo cowonya baik-baikin cewe lain.” Sonia beranjak dari sofa dan mendekati Izal.
“iya… iya… gue tau.” Izal mendengus kesal.
“uda pacaran kok masih pake lo-gue sih? pake aku-kamu dong…” Sonia menyernyit.
“gue belum biasa Sonia…”
‘ceklek’ pintu kamar Sofi terbuka dari luar.
“Sofi?? Gimana keadaannya?” tanya kak theoo panik dan buru-buru mendekati tempat tidur adik kesayangannya itu.
“kondisinya uda stabil kok kak. Tinggal nunggu dia sadar.” Jelas Izal.
“Sofi… Sofi… kamu ini ada-ada aja.” kak theoo mengelus pipi Sofi.
      “um… ngomong-ngomong, kak theoo kan uda dateng nih, anterin aku pulang yuk zal. bunda pasti hawatir banget sama aku. hp aku mati jadi ga bisa telfon bunda.” Pinta Sofi.
      “lo pulang sendiri aja gih. Nih, pake mobil gue.” Izal cuek lalu menyerahkan kunci mobilnya pada Sonia.
      “Izal,,, gue kan cewe, masa malem-malem di suruh nyetir sendirian sih…” protes Sonia.
      “ya udah, lo anter Sonia pulang aja gih. Sekalian lo juga istirahat. Thanks banget yah uda jagain Sofi.” Kak theoo menepuk pundak Izal. Sofi tersenyum puas. Izal beranjak dari kursinya ogah-ogahan.
      “kita pulang dulu ya kak.” Sonia pamit, dan langsung menarik tangan Izal membawanya keluar kamar.

***

      Rendi merebahkan dirinya diatas tempat tidur. Dia baru saja kembali dari liburannya di flores seminggu terakhir ini. mungkin memang liburanlah yang sedang dia butuhkan. Setelah melepas semua penat yang ada difikirannya selama ini dan meninggalkannya di flores sana, Rendi merasa lebih siap untuk tinggal di rumah. Marco emang pintar. Pikirnya.
      “Izal… kamu dari mana aja sih, tengah malam begini baru pulang?” terdengar suara mama dari bawah.
      Rendi merasa kerongkongannya kering. Dia memutuskan untuk mengambil air minum di dapur, sebelum mandi dan akhirnya tidur. Rendi membuka pintu kamarnya. Dia bisa melihat mama yang sedang bicara dengan Izal di ruang tengah.
      “kenapa baju kamu belepotan darah begini? Kamu habis ngapain? kamu berantem eh?” tanya mama panik seraya menunjuk kaos dan blazer Izal yang penuh bercak darah.
      “engga ma. Izal ga berantem. Maaf Izal baru pulang, tadi Izal di rumah sakit.” jelas Izal.
      “rumah sakit?” mama heran.
      “iya. Sofi kecelakaan ma, Izal nunggu dia disana…” jelas Izal.
      Mata Rendi membulat mendengar kalimat Izal. Sofi kecelakaan?



To Be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar