Kamis, 26 Januari 2012

.:: Eeniee Meeniiee ::. pt. 23-"FinaL"

alhamdulillah ya *ala syahrini.
senangnya uda sampe part akhir.
thanks yah, buat yang uda setia ngikutin cerbung ini dari part awal sampe yang terakhir ini.
thanks juga buat yang uda nyumbang jempol en komennya,
tanpa kalian, cerbung nya ga akan sampe sejauh ini :)

langsung aja deh...
happy reading :D



***


      Rendi terperanjat lalu terbangun dari tidurnya. Tadi mimpi ketemu Resti. Wow.
      Rendi melirik Theoo yang masih tidur sambil memeluk boneka Timmy.                                        
  Rendi usil, dia mengambil dot yang dikalungkan di leher timmy lalu menyumpalkannya ke mulut Theoo.
   
  (whusss) Rendi menyalakan shower kamar mandinya. Membiarkan air membasahi seluruh tubuhnya. Membiarkan semua sesal, dosa, dan kesalahannya luntur tersapu oleh air.
      Resti, Rendi memang sangat mencintai dia. dari dulu bahkan sampai sekarang setelah Resti pergi pun perasaannya tak pernah berubah. karena itulah dia tak rela Resti pergi. Karena itu juga dia ingin membalas dendam atas kematiannya. Dan dia sadar ada Sofi di dekatnya. Sofi yang sangat berarti untuk Izal. Sofi yang akan menyempurnakan rencana jahatnya.
      Awalnya memang rencana jahat. Tapi sepertinya, untuk kesekian kalinya lagi-lagi keadaan berubah. Rendi sadar itu. dan dia tau apa yang harus dia lakukan.

***

      aku mengeringkan wajahku dengan sangat hati-hati. Luka di pipiku terasa perih karena terkena air waktu aku mandi dan cuci muka tadi. aku melihat kedalam cermin menatap bayanganku dan meneliti lukaku. Ternyata lumayan panjang, tapi ga dalam. Mungkin akan meninggalkan bekas, tapi ga akan membuat wajahku cacat. Syukur deh. Se gak nya aku ga perlu operasi plastic. Hiiiyyy,, bayanginnya aja aku uda ngeri.
       aku sudah selesai packing dan mandi. Tinggal sarapan terus pulang. Yup! liburanku cukup sampai disini. berhubung besok aku harus sekolah, selain itu papa sama mama juga harus balik ke aussy, jadi liburannya ga bisa lama-lama. Kalo dipikir-pikir lagi, kayaknya pergi ke anyer ini Cuma buat nyari perkara doang. Seneng-senengnya ga seberapa, tapi masalahnya… tau sendiri kan kejadian tadi malem.
      Aku membuka pintu dan keluar kamar. Disaat yang bersamaan kak Rendi juga baru keluar dari kamarnya. Dia menatapku. Aku buang muka. Melihatnya membuatku kembali mengingat kata-katanya, dan memaksaku untuk menerima kenyataan yang menyakitkan.
      “Sofi,,,!! Tunggu… Sofia…!!” panggilnya. Aku ga peduli dan terus perjalan menuruni tangga.
      “Sofi?” Izal mengernyit melihatku berlari menuruni tangga. aku menghentikan langkahku.
      “kamu udah sarapan?” tanya Izal tak peduli dengan kak Rendi yang berdiri tak jauh di belakangku.
      “eh? em,,, aku baru aja mo nyusul mama sama papa.” Jawabku rada keki.
      “bareng yuk.” Izal menggandeng tanganku. Aku menurut dan mengikutinya berjalan menuju resto yang ada belakang resor menghadap ke pantai.
      “zal, lo ga papa kan?” tanyaku. “kemarin kejadiannya gimana? Gue ga inget apa-apa. kenapa gading bisa sejahat itu?”
      “gue ga papa kok. Harusnya gue yang tanya begitu ke lo. pipi lo luka. Pasti sakit banget. sorry ya sof, gara-gara gue.” Izal menyibakkan rambutku dan menyentuh lukaku.
      “lo jadi sakit begini gara-gara gue. maaf yah…” lanjutnya.
      “udah zal. gue ga mau bahas itu lagi. gue cape.” Aku memotong kalimat Izal. dia mengangguk mengerti, lalu mengelus rambutku.
      “zal, boleh ga gue minta tolong sama lo?” tanyaku lirih.
      “minta tolong apa?”

***

      “Sofi…!!” Rendi meraih tangan Sofi yang baru saja melewatinya.
      “kakak lepasin!!” kata Sofi dingin.
      “dengerin penjelasan aku Dulu Sof,,” kata Rendi.
      “haduh kak. Basi banget tauk dengernya. Aku tu ga budek kak. Aku denger semuanya. kakak tu Cuma jadiin aku alat buat bales dendam sama Izal doang kan?! bukannya sekarang acara bales dendamnya uda selesai? Jadi apalagi yang mesti di jelasin? Kakak mau jelasin kalo kakak uda ga butuh aku lagi, eh? ga perlu di jelasin aku juga udah tau kak.” Sofi menghakimi Izal.

Tak mau lagi aku percaya

Pada semua kasih sayangmu
Tak mau lagi aku tersentuh
Pada semua pengakuanmu

Kamu takkan mengerti rasa sakit ini
Kebohongan dari mulut manismu

Pergilah kau

Pergi dari hidupku
Bawalah semua rasa bersalahmu
Pergilah kau
Pergi dari hidupku
Bawalah rahasiamu yang tak ingin kutahui 
Aarrgghhh,,, sialan amat sih ni lagu. Udah kayak backsound aja. Rendi melirik kesal kearah tivi yang sedang menampilkan sebuah acara music.
“bukan itu sof,,, aku…”
“ah, udah deh. Males aku dengernya. Tuh kakak jelasin aja sama tv!!” Sofi menarik tangannya berjalan memasuki kamarnya, tak lama kemudian dia keluar lagi dengan handbag di tangannya, lalu berjalan menuruni tangga.
“arrrghhh! Sialan,. Susah banget sih buat jelasin ke dia.”

***

      “kita mo  pergi kemana?” tanya Izal yang udah siap di mobilnya.
      “em,,, terserah. Yang penting jangan langsung pulang. Gue pengen jalan-jalan.” Jawabku datar.
      “ok.” kata Izal sambil menyalakan mesin mobilnya lalu membawaku pergi dari resor.
      “gue emang punya dendam sama lo, dan gue jadiin Sofi sebagai alat bales dendam…”
“lo harus ngrasain apa yang gue rasain. Lo harus tau gimana sakitnya kehialangan cewe yang lo sayang. dan gue berhasil. Gue berhasil nyakitin lo dengan manfaatin Sofi…”
Kata-kata kak Rendi kembali terngiang di fikiranku. Pantes aja kak Rendi ga pernah masalahin soal perasaanku ke Izal. jadi karna itu yah. karena baginya perasaanku emang ga penting. Dia Cuma butuh aku buat bales dendam. Ah, aku bego banget sih. harusnya aku sadar dari awal. bego. Bego. Bego. Kalo udah begini sekarang siapa yang mo tanggung jawab? Kalo udah jatoh dan luka begini, siapa yang mo ngobatin coba. Izal? iya,, gue emang suka sama Izal. gue juga udah tau semuanya. tentang hubungannya sama Sonia yang ternyata terpaksa dia jalani demi nolongin aku, tentang dia yang sekarang uda putus sama Sonia, dan tentang semuanya. tapi, itu uda ga penting lagi buat aku. kenapa sih, Izal harus kasih tau semuanya disaat aku udah bisa lupain dia?! dan kenapa juga, saat kak Rendi uda berhasil bantuin aku buat lupain Izal sepenuhnya, disaat yang bersamaan aku juga harus tau kalo kak Rendi ternyata sejahat itu? nyesek banget rasanya.
      “kita udah nyampe.” Kata Izal sambil menghentikan mobilnya. Aku menatap sekeliling, hanya ada padang rumput yang luas dan sisi sisinya dipagari kayu yang hanya setinggi 1 meter. Di depanku ada bangunan besar. seperti sebuah pondok yang seluruhnya juga terbuat dari kayu. Mirip pondok koboi. Di samping rumah itu ada gudang yang berisi tumpukan jerami. Tempat apa ini? kita ga lagi ada di amerika kan?
      “zal, kita dimana?” tanyaku.
      “ini tempat favorit gue kalo lagi BT. Masuk yuk. Tempatnya asik lho.” Jelas Izal sambil tersenyum.
ini yang aku suka dari Izal. dia tau aku lagi bermasalah, tapi dia ga pernah maksa aku buat ceritain masalah itu ke dia. dia akan menunggu sampai aku cerita sendiri. karena menurutnya Kalo kita cerita karena ditanya, itu akan memaksa kita mengingat semua kejadian yang ga ingin kita ingat saat kita menjawab. Kalo kita cerita sendiri, kita bakalan merasa lebih lega karena kita uda siap buat ceritain masalah itu ke orang lain.
Izal menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke pondok itu.
“eh, ada mas Izal. apa kabar?” seorang laki-laki berumur 30 tahunan berpakaian ala koboi, lengkap dengan topi tinggi, kemeja kotak-kotak warna merah dan rompi dari kulit warna hitam, celana jeans plus sepatu boots langsung menyambut hangat Izal dan aku.
“baik.” Izal menjabat tangannya. “aku lagi kangen sama Jacob nih. gimana keadaannya?” tanya Izal.
Jacob? Siapa?
“sebulan yang lalu dia sempat sakit. tapi sekarang keadaannya udah baik lagi. mari ikut saya.” Kata laki-laki itu. Izal mengikuti langkahnya menuju halaman belakang pondok yang luas. Padang rumput tadi adalah halaman belakang pondok ini. ada kuda disini. ada banyak. Ada yang lagi mandi, makan, ada juga yang lagi latihan sama pelatihnya. Orang-orang disini tersenyum dan melambai melihat kedatanganku dan Izal. sepertinya Izal emang sering kesini.
Kami berjalan menuju bangunan tinggi, dan luas terbuat dari kayu juga yang ternyata adalah kandang kuda. Kudanya gagah-gagah. Ada papan nama di setiap pintunya. Aku baru aja melewati kandangnya Horace, di depannya Horace ada kandangnya Molly. Sepertinya kuda betina. Dan cantik dengan bulunya yang putih bersih tapi tetap terlihat gagah. Di dekat kandang molly, ada kandang yang bertuliskan ‘Jacob’. Kami berhenti di depan kandang ini. kudanya unik dan beda dari kuda lainnya. Kalo kuda lain umumnya memiliki bulu yang polos, kalo ga item, coklat, kalo ga coklat ya putih, yang gitu-gitu deh, tapi kuda yang satu ini punya bulu kayak anjing dalmantians. Bulunya putih, dengan totol-totol hitam. Cantik.
Kuda bernama Jacob itu meringkin menyambut pemiliknya lalu menundukkan kepalanya. Izal tersenyum.
“anak pintar” katanya sambil mengelus kepala Jacob. “om, aku pengen jalan-jalan sama Jacob. dia kuat ga yah? katanya kan abis sakit.” tanya Izal sedikit hawatir.
“tenang saja. Jacob sudah sembuh total kok. Dia siap mengantar kamu kemana saja. Tunggu sebentar yah. kita pasang dulu pelananya.” Kata om itu sambil menarik Jacob keluar. Izal mengangguk.
“jalan-jalan sama Jacob gapapa kan?” tanya Izal.
“eh? tapi,, gue ga bisa naik kuda.” Gumamku lirih.
“tenang aja. kan ada gue”

***

      “nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi.” (pip) Rendi mengakhiri manggilannya. Dari tadi coba telfon Sofi, tapi selalu mailbox yang jawab.
      “ren, Izal kemana? perasaan tadi berangkat duluan.” Tanya mama sambil menyeruput lemon tea yang baru saja di buatkan bi nenden.
      Rendi mengangkat bahunya tanda tak tau, lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
      Pasti sama Sofi. arrghh sialan tu anak! Umpat Rendi. Rendi menatap foto Sofi yang menjadi wallpaper hp-nya.
      (cekrek) suara shutter kamera Sofi yang baru saja mencuri foto Rendi.   “eh, kamu ngapain?” Rendi terjaga dari lamunannya.
      “hehe… aku minta foto kakak.” jawabnya sambil nyengir.
      “buat apaan?”
      “buat ngasih tau orang-orang kalo malaikat itu beneran ada” jawab Sofi gombal. Rendi mengacak rambutnya.
      “kecil-kecil uda pinter gombal kamu yah. hayo,, siapa yang ngajarin, eh? siapa?” Rendi mencubit pipi Sofi gemas. Lalu mengambil hp Sofi dari tangannya.
      “eh, kakak mo ngapain?”
      “mau hapus fotonya.” Jawab Rendi santai sambil mengotak-atik hp Sofi.
      “ish, jangan.” Sofi merebut kembali hp-nya.
      “foto jelek gitu. Yang bagus banyak nih tar aku transfer.” Rendi menunjuk hp disakunya.
      “engga. Aku suka yang ini. ekspresinya alami. Cakep kok.” Kata Sofi sambil memandang foto Rendi yang sedang duduk bersandar di kursi panjang taman sambil menatap lurus kedepan. Lalu menyetting nya menjadi wallpaper hp-nya.
“udah beres, sekarang siniin hp kakak.” pinta Sofi tiba-tiba.
      “eh, buat apaan?” Rendi mengernyit tak mengerti.
      “udah,, siniin aja hp nya. Mana?” Sofi ngotot. Rendi menegluarkan hp dari saku celananya lalu menyerahkannya pada Sofi yang langsung mengotak-atik nya.
      “wah, ternyata kakak uda punya fotoku yah…” kata Sofi sambil senyum-senyum memandang layar hp Rendi. “nah, yang ini bagus nih. hem… option-set as… ok. selesai.” Gumam Sofi.
      “heh, hp ku kamu apain?!” tanya kak Rendi.
      “taraaaa…” Sofi menunjukkan tampilan baru hp Rendi. “kita kan lagi sama-sama belajar lupain orang yang kita sayang. jadi, kita mulai lewat hp. Hp kan barang yang paling sering kita pake dan otak-atik isinya selain dompet. Jadi, aku setting aja fotoku jd wallpaper hp kakak, biar kakak ingetnya sama aku. aku juga pasang foto kakak jadi wallpaper, biar aku inget terus sama kakak. gimana?” Sofi menunjukkan layar hp-nya yang juga sudah berubah tampilan.
      “setuju!”
Rendi menyentuh layar hp nya. Foto ini diambil di toko boneka sebuah mall. Sofi sedang memegang boneka ikan gabus, sambil mengerucutkan bibirnya menirukan bibir ikan itu. lucu.
      Rendi merindukan Sofinya. Meskipun Sofi belum bisa menggantikan Resti, tapi posisi mereka setara. Keberadaannya sangat berarti untuk Rendi. Sofi yang manis, yang tingkahnya polos seperti anak kecil. Sofi yang kuat meskipun banyak orang yang mencoba menyakitinya. Sofi yang selalu tersenyum meskipun dia terluka. Sofi yang telah membuatnya jatuh cinta seperti dia jatuh cinta pada Resti.
      “aaarrghh,,, brengsek! Tega banget sih gue nyakitin cewe sebaik dia!!”

***

      aku duduk di punggung Jacob, sementara Izal berjalan menuntun kuda kesayangannya itu.
      tadi aku, Jacob, sama Izal, jalan-jalan keliling kebun sayuran, abis itu mampir di kebun pir, sekarang kita lagi jalan keliling danau. Disini sejuk. Pohon-pohonnya rindang, dan rumputnya hijau membentang seperti permadani.
      “Sofi, duduk situ yuk.” Izal menunjuk kursi panjang di bawah pohon… ga tau pohon apaan.
      Aku mengangguk. Izal membantuku turun dari punggung Jacob. lalu mengikat Jacob ke pohon sebelum menggandengku mendekati kursi panjang di pinggir danau.
      “gimana? Lo seneng sama jalan-jalan kita hari ini?” tanya Izal. aku mengangguk. lalu mengandarkan kepalaku di pundak Izal.
      “zal, waktu gue jadian sama kak Rendi, gimana perasaan lo?” tanyaku tanpa menatap Izal.
      “eh? lo mau tau gimana perasaan gue?” Izal balik bertanya. Aku mengangguk. Izal menggenggam tanganku.
      “Rendi boleh bangga. Karena dia sukses buat gue sakit. jujur, meskipun itu ga mungkin, gue berharap lo nunggu gue. gue berusaha jelasin semuanya ke lo. sejak awal gue jadian sama Sonia pun gue berusaha bilang ke lo, tapi lo ga pernah ngasih kesempatan gue buat ngomong dan jelasin semuanya.” jelas Izal.
      “maaf…” jawabku lirih. “sekali lagi maaf karena gue ga sabar buat nunggu lo. gue pikir lo serius sama Sonia. Lo tau sendiri kan Sonia gimana. Dia banyak sakit gara-gara gue. jadi gue… gue… berfikir buat relain lo buat dia.”
      “gue udah bilang berkali-kali kan, satu-satunya cewe di dunia ini yang gue cinta Cuma lo. ga ada Sonia ato siapapun. Cuma lo.” jelas Izal lagi. aku diam.
      “sof, gue pengen nanya sesuatu sama lo.” kata Izal.
      “apa?”
      “kenapa lo sedih banget gara-gara Rendi? lo ga beneran suka sama dia kan?” tanya Izal serius.
      Kenapa aku sedih gara-gara kak Rendi? aku sendiri ga tau kenapa aku sesakit ini. malahan rasanya lebih sakit ketimbang waktu Sonia ngomong dia jadian sama Izal. aku bahagia sama kak Rendi. sama bahagianya waktu sama Izal dulu. aku nyaman disisinya. Kalo saja aku ga denger langsung dari mulut kak Rendi, aku pasti ga bakal percaya kalo dia Cuma jadiin aku alat buat bales dendam. Aku sakit waktu tau tentang semua itu. aku sakit, karena aku cinta sama dia.
      “iya. gue suka sama dia.” jawabku lirih.
      Aku dan Izal terdiam untuk beberapa saat. Sibuk dengan pemikiran masing-masing yang dipermainkan oleh takdir.
      “zal, sepi. nyanyi dong.” pintaku.
      “gue ga ada gitar.” Jawab Izal.
      “ga papa. Nyanyi biasa aja. acapela juga boleh.” Godaku. Keceriaanku mulai kembali.
      “ok lah. Lo denger baik-baik yah,,,” kata Izal. aku mengangguk.


aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu

aku ingin menjadi sesuatu yg mungkin bisa kau rindu
karena langkah merapuh tanpa dirimu
karena hati tlah letih


aku ingin menjadi sesuatu yg selalu bisa kau sentuh
aku ingin kau tahu bahwa ku selalu memujamu
tanpamu sepinya waktu merantai hati
bayangmu seakan-akan

kau seperti nyanyian dalam hatiku 

yg memanggil rinduku padamu
seperti udara yg kuhela kau selalu ada
   
         hanya dirimu yg bisa membuatku tenang
   
           tanpa dirimu aku merasa hilang
             dan sepi, dan sepi 

kau seperti nyanyian dalam hatiku 

yg memanggil rinduku padamu
seperti udara yg kuhela kau selalu ada 
selalu ada…
kau selalu ada…

      Izal mengakhiri lagunya. Dia melirik Sofi yang tertidur di pundaknya. Izal menggenggam erat tangan Sofi. memejamkan matanya. menikmati detik-demi detik kebersamaannya dengan Sofi yang mungkin tak dapat dirasakannya lagi. Izal sudah tau jawaban Sofi, sekarang pilihan ada di tangannya. melepasnya, ato merebutnya kembali.

***

      “papa sama mama ga bisa yah tinggal disini sehari lagiii aja.” pintaku.
      “papa sama mama kan harus kerja sayang. kamu sabar yah. nanti, kalo proyeknya uda 100% selesai, papa sama mama janji, akan pulang dan tinggal disini sama kamu.” papa membelai rambutku.
      “beneran pa? serius.” Tanyaku bersemangat. Papa mengangguk.
      “yeeeay!! Senangnya bisa kumpul lagi.” kataku senang.
      “Theoo, kamu pulang hari ini juga?” tanya mama.
      “engga ma. Theoo masih ada urusan di kantor polisi soal kasus itu. hari ini Theoo di periksa buat jadi saksi. Selain itu, Theoo mau temenin Sofi dulu disini. takut ada apa-apa sama dia. lagian, Theoo juga lagi libur 2 bulan. Jadi santai.” jawab kak theo setelah menelan habis roti bakarnya.
      “bagus deh. Kalo begitu mama sama papa bisa tenang disana.” Kata mama lega.
      “pa, ma, uda siang. Sofi berangkat sekolah dulu yah. sebenernya sih pengen banget nganter papa sama mama ke air port.” Aku beranjak dari kursiku lalu mencium tangan papa dan mama.
      “gapapa sayang. nanti kalo mama uda sampai disana, mama telfon. kamu hati-hati yah. jangan pergi sendirian.” Mama mengingatkan lalu mengecup pipiku.
      “ok. ma” kataku sambil beranjak dari ruang makan dan berjalan menuju garasi.
      @sekolah…
      “Sofi?? pipi lo kenapa?” tanya Susan yang terkejut melihat goresan panjang di pipi kiriku.
      “engga papa. Di cakar si ben kemaren.” Jawabku bohong. Susan ga perlu tau soal kejadian di anyer itu.
      “emang si ben lo apain? Nyakar sampe segitunya.” ledek Susan. Aku nyengir.
      “eh, sof, lo udah denger belum, hot news sekolah kita?” Susan memulai acara gosipnya. Aku hanya mengangkat bahu tanda tak tau.
      “ada anak sekolah kita yang di penjara.” Bisik Susan yang sukses buatku keselek country choise ku.
      “uhk… arrgh. Lo jangan ngaco.” Aku menyangkal kalimat Susan. Pdahal  Aku tau siapa yang dia maksud.
      “siapa yang ngaco. Gue serius tauk. Dia…”
      “Sofi,,!! Kak Susan,,!!” tegur Sonia yang berdiri di depanku. fhew… sukurlah… aku menarik nafas lega.
      “hey, Sonia!” sapaku.
      “eh, Sof, ikut gue bentar yuk. Gue mo ngomong sama lo.” Sonia menarik tanganku.
      “ngomong apaan? Disini aja.” tanyaku.
      “ga bisa. ntar Susan denger, bisa gawat kalo dia sampe berkoar, mulutnya kan kayak toak.” Ledek Sonia.
      “rese’ lo!!” Susan melempar Sonia dengan botol country choise kosong yang dia rebut dari tanganku. Sonia nyengir lalu menggandengku pergi meninggalkan kelas.
      “lo mo ngomong apaan?” tanyaku sambil duduk di bangku panjang depan green house.
      “gue mo minta maaf sama lo.” jawab Sonia.
      “maaf soal apa?” aku mengernyit tak mengerti.
      “yea,, soal semuanya. maaf karena udah jahatin lo. maaf juga karena udah rebut Izal dari lo.” jelas Sonia.
      “haha… udah lah Sonia. lupain aja soal itu. gue seneng kalo lo udah sadar.” Jawabku santai.
      “makasih yah. lo udah jadi sahabat gue yang paliiiiiing baik.”  kata Sonia, senyumnya mengembang dan tulus.
      “kemana aja lo? baru nyadar yah.” aku sok. Aku dan Sonia tertawa bersama.
      “sof, gue juga mo pamit sama lo.”
      “eh? pamit? Emang lo mo kemana?”
      “gue mo ke amrik. Ini hari terakhir gue disini. besok gue berangkat.”
      “amrik? Ngapain?”
      “jualan kacang. Ya tinggal disana lah. Sekolah dan hidup disana.” Kata Sonia gemas.
      “yah, kalo lo pindah, gue jadi ga ada saingan dong.” goda ku.
      “tenang aja, kita saingan ke tingkat internasional sekarang.” jawab Sonia. “ntar kalo gue udah disana, lo jangan lupain gue yah. lo harus sering-sering kirim e-mail, wtw-an di facebook, tapi jangan ngajakin gue maen twitter, gue ga ngerti yang gitu-gitu mah.”  Lanjut Sonia.
      “hahaha… sieph lah. Kalo lo pulang ke sini, jangan lupa bawain oleh-oleh bule cakep yah. ga usah muluk-muluk, sejenis Robert Pattinson aja uda cukup buat gue.”
      “jiah, berat gitu mah.”
      Aku nyengir. ga nyangka bisa sedeket ini lagi sama Sonia. ternyata selama ini aku salah. Sonia tetap sahabatku. Sejak dulu hingga sekarang. di dunia ini kata ‘mantan pacar’ emang uda pasaran banget. tapi gue belum nemuin tuh yang namanya ‘mantan sahabat’. Belum dan ga akan pernah nemu. Karena di dunia ini ga ada yang namanya mantan sahabat. Sekali sahabat tetap sahabat. Dulu, sekarang, dan selamanya.
      Selama kita hidup, yang namanya konflik emang ga akan pernah berhenti buat ngikutin kita. Dia udah kayak maut yang bisa datang kapan pun, dimana pun, dan dengan cara apapun. Tapi jangan takut. Karena persahabatan dan hidup kita ga akan bermakna tanpa adanya konflik. *plak! Aku ngomong apa sih?!

***
      Kelas mulai sepi. sebagian besar anak-anak sudah pulang. Aku masih duduk di kursiku sambil menyelesaikan catatanku tentang periodisasi sastra.
      “hey sof!! Pulang bareng yuk!” ajak Izal.
      “eh? gue…”
      “tunggu di parkiran yah.” Izal memotong kalimatku, lalu pergi meninggalkan kelas.
      “ish, aneh. Padahalkan aku belum bilang iya. ato dia sengaja motong kalimatku biar aku ga bisa nolak kali yah?” gumamku sambil memasukkan buku catatanku kedalam tas.
      Aku menyusuri koridor sekolah sendirian. Berjalan pelan sambil mengamati keadaan sekitar. Sekolah bener-bener udah sepi. tinggal beberapa anak yang bergerumbul, menggosip di parkiran sambil nunggu motornya bisa keluar. Ato anak-anak yang lagi bersihin kelas karena kena jadwal piket.
      Mataku tertuju pada Kana yang sedang duduk di depan kantor kepala sekolah. Pasti nunggu Pak Martin. Kana kan cucunya kepala sekolah ini. dan dia ga sendirian. Kana sama cowo. Eh? itukan kak Rendi? ngapain dia disini?
      Kak Rendi melihat kearahku. Aku langsung mempercepat langkahku menuju pos nya mbah Mario.
      “Sofi…!!” panggilnya. Aku ga peduli dan terus jalan.
      Tin… tin…
      Mobil Izal berhenti di depanku. Aku membuka pintu mobilnya dan langsung masuk tanpa menatap kak Rendi.
      “kak Rendi ngapain disini? dia nyariin lo?” tanya Izal tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
      “engga tau. tadi gue liat dia sama Kana.” Jawabku santai.
      “sama kana?” Izal mengernyit. “ya udah lah. Ngapain juga bahas dia. Oh, ya Sof. Tar malem hang out yuk.”
      “hang out? Kemana?”

***

      Izal berjalan menaiki tangga sambil bersenandung ria. Malam ini dia akan hang out sama Sofi. rasanya seperti kembali ke masa lalu. Saat Sonia dan Rendi belum muncul diantara hubungan mereka dan menghancurkan semuanya.
      Izal mengulurkan tangannya hendak menyentuh handle pintu, tapi seseorang menahannya.
      “gue ga suka lo deket-deket sama Sofi.”
      Izal tersenyum tipis menatap kakaknya.
      “kenapa? lo cemburu?” Izal nyolot.
      “iya lah. Dia cewe gue.” Rendi staycool.
      “cewe lo? berani banget lo bilang kalo dia cewe lo setelah lo nyakitin dia begitu.”
      “Brengsek lo! lo ga tau apa-apa. ok, gue emang udah jahat sama dia. tapi gue sama Sofi belum putus. Sofi tetep cewe gue, sekarang, besok, dan selamanya!!”
      “ok. kita liat aja nanti. Gue tunggu lo di lalala café jam 7 malem.” Jawab Izal masih dengan tampang nyolotnya. Dia memasuki kamarnya dan menutup pintunya dengan kasar.
      “lalala café jam 7?”

***

      “hey zal!! kemana aja lo? baru nongol sekarang.” sapa Marco si pemilik café.
      “gue kan kejebak di hati lo. baru bisa lepas nih.” Izal alay.
      “sialan lo. geli gue dengernya.” Marco menoyor kepala Izal. Izal nyengir. “eh, ada Sofi juga. apa kabar? Masih inget gue kan?” sapa Marco.
      “iya. kak Marco kan? yang punya café ini?” tebak Sofi.
      “yup!!” Marco mengangguk mantap.
      “kok cafenya sepi kak?” tanya Sofi.
      “iya. baru aja buka, kemaren-kemaren abis di renovasi.” Jelas Marco. Sofi manggut-manggut. Dia memang melihat perubahan di café ini. terutama di tengah café yang sekarang terdapat panggung live music lengkap dengan alat musiknya. Dan yang paling menarik perhatian Sofi adalah piano klasik yang terletak di sebelah drum.
      “bagus. Ada pianonya juga.” kata Sofi sambil menekan beberapa tuts piano di hadapannya itu.
      “lo bisa maen?” tanya Marco.
      “em,,, lumayan. Dulu pernah les. Di rumah aku juga punya yang kayak gini.” Jawab Sofi sambil duduk di belakang piano dan membiarkan jari-jarinya menari diatas tuts piano.
      Alunan music fur elise mengalun indah dari piano yang dimainkan Sofi. membuat beberapa pengunjung termasuk Izal dan Marco terpesona padanya.
      Plok… plok… plok… plok… riuh tepuk tangan mengiringi berakhirnya permainan piano Sofi.
      “wow!! Yang kayak gini mah bukan lumayan lagi namanya. Tapi hebat. Gue lagi nyari orang yang pas buat jadi pianis disini. tapi belum ketemu. Gimana kalo buat malem ini… aja, lo maen disini. tolongin gue lah…” Marco memohon.
      “yeeey,,, enak aja. Sofi kesini buat ngedate sama gue. masa’ mo lo suruh kerja sih. ga bisa!!” protes Izal.
      “gapapa deh zal. gue suka maen piano kok. Maenin satu ato dua lagu lagi ga masalah lah,,” jawab Sofi santai.
      “nah, tuh dia aja mau. Rese lo! jadi orang egois amat.” Marco meninju bahu Izal. “thanks banget ya Sof.” Lanjut Marco. Sofi tersenyum lalu melanjutkan permainan pianonya. Dia memainkan sebuah lagu yang cukup mewakili perasaannya saat ini…


terima kasih tuk luka yang kau beri

ku tak percaya kau tlah begini
dulu kau menjadi malaikat di hati
sampai hati kau telah begini

 

 berkali-kali kau katakan sendiri
kini ku tlah benci, cintaku tlah pergi

pergi saja kau pergi, tak usah kembali

percuma saja kini hanya mengundang perih
cukup tahu ku dirimu, cukup sakit ku rasakan kini

pergi saja kau pergi, tak usah kembali

percuma saja kini hanya mengundang perih
buang saja kau buang cinta yang kemarin
perasaan tak mungkin percayamu lagi
cukup tahu ku dirimu, cukup sakit ku rasakan kini 

      Izal menatap Sofi lekat. Ada bening yang meneres dari mata dan membasahi pipi Sofi. Izal tau lagu ini, dan dia juga tau untuk siapa Sofi menyanyikannya. Sesakit itukah Sofi karenanya?
      Izal melirik cowo yang berdiri di sampingnya. Dia juga memandang Sofi lekat. Ada perasaan bersalah dimatanya.
      “lo beneran dateng?” tegur Izal.
      “gue Cuma penasaran aja sama lo.” jawab Rendi dingin.
      “dia serius suka sama lo, tega lo nyakitin cewe sebaik dia, eh?” sindir Izal sinis.
      “gue nyesel banget. gue emang salah.” Gumam Rendi lirih.
      “kalo gitu,,, sana. Lo kejar dia gih.” Kata Izal datar. Rendi mengernyit mendengar perkataan adiknya. Dia melirik Izal yang memandang lurus kearah Sofi.
      “cepet lo kejar dia sebelum gue berubah fikiran!!” Izal mengulangi perintahnya. Rendi tersenyum lalu beranjak dari tempatnya.
      “kak Rendi, tunggu!!” teriak Izal. Rendi menghentikan langkahnya. Izal berjalan mendekati Rendi.
      “tapi awas kalo lo berani nyakitin dia lagi. ga peduli siapapun lo, gue ga segan-segan buat nantangin lo maen monopoli sampe lo bangkrut.” Ancam Izal.
      “sialan lo. gue kirain apaan.” Rendi menoyor kepala Izal.
      “eh, gue serius. Awas aja lo, kak.” Izal menepis tangan Rendi.
      “beres lah. Thanks ya.” kak Rendi menepuk bahu Izal. Izal tersenyum
      ‘anggep aja ini ganti rugi karena gue ga becus jagain kak Resti. Dan buat lo Sofi, lo adalah bintang yang paling terang bagi gue. jangan sampai lo redup dan mati. Gue selalu stay disini, di belakang lo, memeluk dan jagain lo selamanya.’

***

      “Sofi,,,” tegur Rendi. Sofi buang muka dan langsung menghapus air matanya.
      “sof, aku mau ngomong sama kamu. please, kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya sama kamu.” Rendi memohon lalu menggandeng tangan Sofi. Sofi tak menolaknya. Mungkin dia lelah terus-terusan menghindar dari Rendi.
      “kakak mau ngomong apa?” tanya Sofi lirih sambil duduk di gazebo yang ada di taman belakang café.
      “sof,, sebelumnya aku minta maaf. Jujur, aku emang jadiin kamu alat buat bales dendam sama Izal. kamu pasti udah tau ceritanya dari Izal kan?!” jelas Rendi pelan. Sofi mengangguk.
      “aku pengen nyakitin Izal, dengan cara deketin kamu. awalnya sih begitu, tapi… lama-lama keadaan mulai berubah. aku beneran suka sama kamu sof. Aku nyesel udah nyakitin kamu.” Rendi menggenggam tangan Sofi.
      “udah? Gitu doang?” tanya Sofi dingin tanpa menatap Rendi.
      “sof, boleh ga aku pinjem bahu kamu?” Rendi menatap Sofi lekat. Sofi mengernyit menatap Rendi heran.
      “aku lelah sof. Udah 2 hari ini aku ga tidur. Aku berantakan kalo ga ada kamu.” Rendi memeluk Sofi dan menyandarkan kepalanya di bahunya.
      “dimaafin kok.” Kata Sofi lirih lalu membelai lembut pipi Rendi. “ga peduli sejahat apapun kakak sama aku. aku uda terlanjur cinta sama kakak. kakak jangan sakitin aku lagi. aku cape.”
2 minggu kemudian…
      Kak Rendi Rendi membukakan pintu untukku. aku melepas sabuk pengaman lalu turun.
      “eh, itu bunganya dibawa…” kak Rendi mengingatkan.
      “oh iya. aku lupa.” Aku menepuk keningku, lalu meraih bunga diatas dashboard mobil kak Rendi.
      “kebiasaan deh.” Kak Rendi geleng-geleng. Aku nyengir.
      “ayo, ntar keburu ujan.” Kak Rendi menggandeng tanganku. Aku mengangguk. langitnya emang mendung. Padahal baru jam 3 sore, tapi kayak udah surup.
      Aku dan kak Rendi berjalan melewati pintu masuk pemakaman. Lalu berhenti di sebuah pusara putih yang bertuliskan nama ‘Resti Arsinta’ di permukaan nisannya.
      Kak Rendi berlutut di samping pusara kak Resti. Aku ikut berlutut disampingnya.
      …
      “um,,, Resti, sebenernya aku udah jatuh cinta sama Sofi. menurutku, dia mirip kamu. selalu buat aku nyaman dan tenang saat aku ada disisinya.”
      “aku seneng akhirnya kamu jujur Rendi. kamu harus bisa lupain aku. Sofi anak abaik. Berbahagialah kamu dengannya.” Resti mengelus pipi Rendi.
      …
      Rendi tersenyum mengingat mimpinya beberapa waktu lalu.
      “Resti, kamu apa kabar? Kamu baik-baik yah disana. Sekarang ada Sofi disisiku. Maaf, aku ga bisa setia sama kamu. tapi aku bahagia sama Sofi. kamu pasti juga bahagia kan disana?” kata kak Rendi sambil mengelus nisan kak Resti.
      “hai, kak Resti… kita ketemu lagi. aku Sofi. dan mulai sekarang aku yang  akan jagain kak Rendi. Kakak tidur yang nyenyak yah. meskipun kita udah bahagia disini, tapi kita janji ga akan pernah lupain kakak.” lanjutku. Aku meletakkan bucket mawar putih yang ku bawa diatas pusara kak Resti.
      Kak Rendi merangkulku, lalu berbalik meninggalkan pusara putih kak Resti. Rintik-rintik gerimis mulai turun. Kak Rendi membuka cardigannya dan mengerudungkannya padaku agar tidak basah. Aku memeluk pinggang kak Rendi. ga nyangka bisa sedekat ini sama dia. aku naksir ade-nya, eeh malah dapet kakaknya. Hidup ini emang rumit. Ini ceritaku. Apa ceritamu?

-The EnD-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar