alhamdulillah ya *ala syahrini.
senangnya uda sampe part akhir.
thanks yah, buat yang uda setia ngikutin cerbung ini dari part awal sampe yang terakhir ini.
thanks juga buat yang uda nyumbang jempol en komennya,
tanpa kalian, cerbung nya ga akan sampe sejauh ini :)
langsung aja deh...
happy reading :D
***
…
Rendi terperanjat lalu terbangun dari tidurnya. Tadi mimpi ketemu Resti. Wow.
Rendi melirik Theoo yang masih tidur sambil memeluk boneka Timmy.
Rendi usil, dia mengambil dot yang dikalungkan di leher timmy lalu menyumpalkannya ke mulut Theoo.
(whusss) Rendi menyalakan shower kamar mandinya. Membiarkan air
membasahi seluruh tubuhnya. Membiarkan semua sesal, dosa, dan
kesalahannya luntur tersapu oleh air.
Resti, Rendi memang
sangat mencintai dia. dari dulu bahkan sampai sekarang setelah Resti
pergi pun perasaannya tak pernah berubah. karena itulah dia tak rela
Resti pergi. Karena itu juga dia ingin membalas dendam atas kematiannya.
Dan dia sadar ada Sofi di dekatnya. Sofi yang sangat berarti untuk
Izal. Sofi yang akan menyempurnakan rencana jahatnya.
Awalnya memang rencana jahat. Tapi sepertinya, untuk kesekian kalinya
lagi-lagi keadaan berubah. Rendi sadar itu. dan dia tau apa yang harus
dia lakukan.
***
aku mengeringkan
wajahku dengan sangat hati-hati. Luka di pipiku terasa perih karena
terkena air waktu aku mandi dan cuci muka tadi. aku melihat kedalam
cermin menatap bayanganku dan meneliti lukaku. Ternyata lumayan panjang,
tapi ga dalam. Mungkin akan meninggalkan bekas, tapi ga akan membuat
wajahku cacat. Syukur deh. Se gak nya aku ga perlu operasi plastic.
Hiiiyyy,, bayanginnya aja aku uda ngeri.
aku sudah selesai
packing dan mandi. Tinggal sarapan terus pulang. Yup! liburanku cukup
sampai disini. berhubung besok aku harus sekolah, selain itu papa sama
mama juga harus balik ke aussy, jadi liburannya ga bisa lama-lama. Kalo
dipikir-pikir lagi, kayaknya pergi ke anyer ini Cuma buat nyari perkara
doang. Seneng-senengnya ga seberapa, tapi masalahnya… tau sendiri kan
kejadian tadi malem.
Aku membuka pintu dan keluar kamar.
Disaat yang bersamaan kak Rendi juga baru keluar dari kamarnya. Dia
menatapku. Aku buang muka. Melihatnya membuatku kembali mengingat
kata-katanya, dan memaksaku untuk menerima kenyataan yang menyakitkan.
“Sofi,,,!! Tunggu… Sofia…!!” panggilnya. Aku ga peduli dan terus perjalan menuruni tangga.
“Sofi?” Izal mengernyit melihatku berlari menuruni tangga. aku menghentikan langkahku.
“kamu udah sarapan?” tanya Izal tak peduli dengan kak Rendi yang berdiri tak jauh di belakangku.
“eh? em,,, aku baru aja mo nyusul mama sama papa.” Jawabku rada keki.
“bareng yuk.” Izal menggandeng tanganku. Aku menurut dan mengikutinya
berjalan menuju resto yang ada belakang resor menghadap ke pantai.
“zal, lo ga papa kan?” tanyaku. “kemarin kejadiannya gimana? Gue ga inget apa-apa. kenapa gading bisa sejahat itu?”
“gue ga papa kok. Harusnya gue yang tanya begitu ke lo. pipi lo luka.
Pasti sakit banget. sorry ya sof, gara-gara gue.” Izal menyibakkan
rambutku dan menyentuh lukaku.
“lo jadi sakit begini gara-gara gue. maaf yah…” lanjutnya.
“udah zal. gue ga mau bahas itu lagi. gue cape.” Aku memotong kalimat
Izal. dia mengangguk mengerti, lalu mengelus rambutku.
“zal, boleh ga gue minta tolong sama lo?” tanyaku lirih.
“minta tolong apa?”
***
“Sofi…!!” Rendi meraih tangan Sofi yang baru saja melewatinya.
“kakak lepasin!!” kata Sofi dingin.
“dengerin penjelasan aku Dulu Sof,,” kata Rendi.
“haduh kak. Basi banget tauk dengernya. Aku tu ga budek kak. Aku denger
semuanya. kakak tu Cuma jadiin aku alat buat bales dendam sama Izal
doang kan?! bukannya sekarang acara bales dendamnya uda selesai? Jadi
apalagi yang mesti di jelasin? Kakak mau jelasin kalo kakak uda ga butuh
aku lagi, eh? ga perlu di jelasin aku juga udah tau kak.” Sofi
menghakimi Izal.
Tak mau lagi aku percaya
Pada semua kasih sayangmu
Tak mau lagi aku tersentuh
Pada semua pengakuanmu
Kamu takkan mengerti rasa sakit ini
Kebohongan dari mulut manismu
Pergilah kau
Pergi dari hidupku
Bawalah semua rasa bersalahmu
Pergilah kau
Pergi dari hidupku
Bawalah rahasiamu yang tak ingin kutahui
Aarrgghhh,,,
sialan amat sih ni lagu. Udah kayak backsound aja. Rendi melirik kesal
kearah tivi yang sedang menampilkan sebuah acara music.
“bukan itu sof,,, aku…”
“ah,
udah deh. Males aku dengernya. Tuh kakak jelasin aja sama tv!!” Sofi
menarik tangannya berjalan memasuki kamarnya, tak lama kemudian dia
keluar lagi dengan handbag di tangannya, lalu berjalan menuruni tangga.
“arrrghhh! Sialan,. Susah banget sih buat jelasin ke dia.”
***
“kita mo pergi kemana?” tanya Izal yang udah siap di mobilnya.
“em,,, terserah. Yang penting jangan langsung pulang. Gue pengen jalan-jalan.” Jawabku datar.
“ok.” kata Izal sambil menyalakan mesin mobilnya lalu membawaku pergi dari resor.
“gue emang punya dendam sama lo, dan gue jadiin Sofi sebagai alat bales dendam…”
“lo
harus ngrasain apa yang gue rasain. Lo harus tau gimana sakitnya
kehialangan cewe yang lo sayang. dan gue berhasil. Gue berhasil nyakitin
lo dengan manfaatin Sofi…”
Kata-kata kak Rendi kembali
terngiang di fikiranku. Pantes aja kak Rendi ga pernah masalahin soal
perasaanku ke Izal. jadi karna itu yah. karena baginya perasaanku emang
ga penting. Dia Cuma butuh aku buat bales dendam. Ah, aku bego banget
sih. harusnya aku sadar dari awal. bego. Bego. Bego. Kalo udah begini
sekarang siapa yang mo tanggung jawab? Kalo udah jatoh dan luka begini,
siapa yang mo ngobatin coba. Izal? iya,, gue emang suka sama Izal. gue
juga udah tau semuanya. tentang hubungannya sama Sonia yang ternyata
terpaksa dia jalani demi nolongin aku, tentang dia yang sekarang uda
putus sama Sonia, dan tentang semuanya. tapi, itu uda ga penting lagi
buat aku. kenapa sih, Izal harus kasih tau semuanya disaat aku udah bisa
lupain dia?! dan kenapa juga, saat kak Rendi uda berhasil bantuin aku
buat lupain Izal sepenuhnya, disaat yang bersamaan aku juga harus tau
kalo kak Rendi ternyata sejahat itu? nyesek banget rasanya.
“kita udah nyampe.” Kata Izal sambil menghentikan mobilnya. Aku menatap
sekeliling, hanya ada padang rumput yang luas dan sisi sisinya dipagari
kayu yang hanya setinggi 1 meter. Di depanku ada bangunan besar. seperti
sebuah pondok yang seluruhnya juga terbuat dari kayu. Mirip pondok
koboi. Di samping rumah itu ada gudang yang berisi tumpukan jerami. Tempat apa ini? kita ga lagi ada di amerika kan?
“zal, kita dimana?” tanyaku.
“ini tempat favorit gue kalo lagi BT. Masuk yuk. Tempatnya asik lho.” Jelas Izal sambil tersenyum.
ini
yang aku suka dari Izal. dia tau aku lagi bermasalah, tapi dia ga
pernah maksa aku buat ceritain masalah itu ke dia. dia akan menunggu
sampai aku cerita sendiri. karena menurutnya Kalo kita cerita karena
ditanya, itu akan memaksa kita mengingat semua kejadian yang ga ingin
kita ingat saat kita menjawab. Kalo kita cerita sendiri, kita bakalan
merasa lebih lega karena kita uda siap buat ceritain masalah itu ke
orang lain.
Izal menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke pondok itu.
“eh,
ada mas Izal. apa kabar?” seorang laki-laki berumur 30 tahunan
berpakaian ala koboi, lengkap dengan topi tinggi, kemeja kotak-kotak
warna merah dan rompi dari kulit warna hitam, celana jeans plus sepatu
boots langsung menyambut hangat Izal dan aku.
“baik.” Izal menjabat tangannya. “aku lagi kangen sama Jacob nih. gimana keadaannya?” tanya Izal.
Jacob? Siapa?
“sebulan
yang lalu dia sempat sakit. tapi sekarang keadaannya udah baik lagi.
mari ikut saya.” Kata laki-laki itu. Izal mengikuti langkahnya menuju
halaman belakang pondok yang luas. Padang rumput tadi adalah halaman
belakang pondok ini. ada kuda disini. ada banyak. Ada yang lagi mandi,
makan, ada juga yang lagi latihan sama pelatihnya. Orang-orang disini
tersenyum dan melambai melihat kedatanganku dan Izal. sepertinya Izal
emang sering kesini.
Kami berjalan menuju bangunan tinggi, dan
luas terbuat dari kayu juga yang ternyata adalah kandang kuda. Kudanya
gagah-gagah. Ada papan nama di setiap pintunya. Aku baru aja melewati
kandangnya Horace, di depannya Horace ada kandangnya Molly. Sepertinya
kuda betina. Dan cantik dengan bulunya yang putih bersih tapi tetap
terlihat gagah. Di dekat kandang molly, ada kandang yang bertuliskan
‘Jacob’. Kami berhenti di depan kandang ini. kudanya unik dan beda dari
kuda lainnya. Kalo kuda lain umumnya memiliki bulu yang polos, kalo ga
item, coklat, kalo ga coklat ya putih, yang gitu-gitu deh, tapi kuda
yang satu ini punya bulu kayak anjing dalmantians. Bulunya putih, dengan
totol-totol hitam. Cantik.
Kuda bernama Jacob itu meringkin menyambut pemiliknya lalu menundukkan kepalanya. Izal tersenyum.
“anak
pintar” katanya sambil mengelus kepala Jacob. “om, aku pengen
jalan-jalan sama Jacob. dia kuat ga yah? katanya kan abis sakit.” tanya
Izal sedikit hawatir.
“tenang saja. Jacob sudah sembuh total kok.
Dia siap mengantar kamu kemana saja. Tunggu sebentar yah. kita pasang
dulu pelananya.” Kata om itu sambil menarik Jacob keluar. Izal
mengangguk.
“jalan-jalan sama Jacob gapapa kan?” tanya Izal.
“eh? tapi,, gue ga bisa naik kuda.” Gumamku lirih.
“tenang aja. kan ada gue”
***
“nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi.” (pip) Rendi mengakhiri manggilannya. Dari tadi coba telfon Sofi, tapi selalu mailbox yang jawab.
“ren, Izal kemana? perasaan tadi berangkat duluan.” Tanya mama sambil
menyeruput lemon tea yang baru saja di buatkan bi nenden.
Rendi mengangkat bahunya tanda tak tau, lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
Pasti sama Sofi. arrghh sialan tu anak! Umpat Rendi. Rendi menatap foto Sofi yang menjadi wallpaper hp-nya.
(cekrek) suara shutter kamera Sofi yang baru saja mencuri foto Rendi. “eh, kamu ngapain?” Rendi terjaga dari lamunannya.
“hehe… aku minta foto kakak.” jawabnya sambil nyengir.
“buat apaan?”
“buat ngasih tau orang-orang kalo malaikat itu beneran ada” jawab Sofi gombal. Rendi mengacak rambutnya.
“kecil-kecil uda pinter gombal kamu yah. hayo,, siapa yang ngajarin,
eh? siapa?” Rendi mencubit pipi Sofi gemas. Lalu mengambil hp Sofi dari
tangannya.
“eh, kakak mo ngapain?”
“mau hapus fotonya.” Jawab Rendi santai sambil mengotak-atik hp Sofi.
“ish, jangan.” Sofi merebut kembali hp-nya.
“foto jelek gitu. Yang bagus banyak nih tar aku transfer.” Rendi menunjuk hp disakunya.
“engga. Aku suka yang ini. ekspresinya alami. Cakep kok.” Kata Sofi
sambil memandang foto Rendi yang sedang duduk bersandar di kursi panjang
taman sambil menatap lurus kedepan. Lalu menyetting nya menjadi
wallpaper hp-nya.
“udah beres, sekarang siniin hp kakak.” pinta Sofi tiba-tiba.
“eh, buat apaan?” Rendi mengernyit tak mengerti.
“udah,, siniin aja hp nya. Mana?” Sofi ngotot. Rendi menegluarkan hp
dari saku celananya lalu menyerahkannya pada Sofi yang langsung
mengotak-atik nya.
“wah, ternyata kakak uda punya
fotoku yah…” kata Sofi sambil senyum-senyum memandang layar hp Rendi.
“nah, yang ini bagus nih. hem… option-set as… ok. selesai.” Gumam Sofi.
“heh, hp ku kamu apain?!” tanya kak Rendi.
“taraaaa…” Sofi menunjukkan tampilan baru hp Rendi. “kita kan lagi
sama-sama belajar lupain orang yang kita sayang. jadi, kita mulai lewat
hp. Hp kan barang yang paling sering kita pake dan otak-atik isinya
selain dompet. Jadi, aku setting aja fotoku jd wallpaper hp kakak, biar
kakak ingetnya sama aku. aku juga pasang foto kakak jadi wallpaper, biar
aku inget terus sama kakak. gimana?” Sofi menunjukkan layar hp-nya yang
juga sudah berubah tampilan.
“setuju!”
Rendi
menyentuh layar hp nya. Foto ini diambil di toko boneka sebuah mall.
Sofi sedang memegang boneka ikan gabus, sambil mengerucutkan bibirnya
menirukan bibir ikan itu. lucu.
Rendi merindukan Sofinya.
Meskipun Sofi belum bisa menggantikan Resti, tapi posisi mereka setara.
Keberadaannya sangat berarti untuk Rendi. Sofi yang manis, yang
tingkahnya polos seperti anak kecil. Sofi yang kuat meskipun banyak
orang yang mencoba menyakitinya. Sofi yang selalu tersenyum meskipun dia
terluka. Sofi yang telah membuatnya jatuh cinta seperti dia jatuh cinta
pada Resti.
“aaarrghh,,, brengsek! Tega banget sih gue nyakitin cewe sebaik dia!!”
***
aku duduk di punggung Jacob, sementara Izal berjalan menuntun kuda kesayangannya itu.
tadi aku, Jacob, sama Izal, jalan-jalan keliling kebun sayuran, abis
itu mampir di kebun pir, sekarang kita lagi jalan keliling danau. Disini
sejuk. Pohon-pohonnya rindang, dan rumputnya hijau membentang seperti
permadani.
“Sofi, duduk situ yuk.” Izal menunjuk kursi panjang di bawah pohon… ga tau pohon apaan.
Aku mengangguk. Izal membantuku turun dari punggung Jacob. lalu
mengikat Jacob ke pohon sebelum menggandengku mendekati kursi panjang di
pinggir danau.
“gimana? Lo seneng sama jalan-jalan kita hari ini?” tanya Izal. aku mengangguk. lalu mengandarkan kepalaku di pundak Izal.
“zal, waktu gue jadian sama kak Rendi, gimana perasaan lo?” tanyaku tanpa menatap Izal.
“eh? lo mau tau gimana perasaan gue?” Izal balik bertanya. Aku mengangguk. Izal menggenggam tanganku.
“Rendi boleh bangga. Karena dia sukses buat gue sakit. jujur, meskipun
itu ga mungkin, gue berharap lo nunggu gue. gue berusaha jelasin
semuanya ke lo. sejak awal gue jadian sama Sonia pun gue berusaha bilang
ke lo, tapi lo ga pernah ngasih kesempatan gue buat ngomong dan jelasin
semuanya.” jelas Izal.
“maaf…” jawabku lirih. “sekali lagi
maaf karena gue ga sabar buat nunggu lo. gue pikir lo serius sama Sonia.
Lo tau sendiri kan Sonia gimana. Dia banyak sakit gara-gara gue. jadi
gue… gue… berfikir buat relain lo buat dia.”
“gue udah
bilang berkali-kali kan, satu-satunya cewe di dunia ini yang gue cinta
Cuma lo. ga ada Sonia ato siapapun. Cuma lo.” jelas Izal lagi. aku diam.
“sof, gue pengen nanya sesuatu sama lo.” kata Izal.
“apa?”
“kenapa lo sedih banget gara-gara Rendi? lo ga beneran suka sama dia kan?” tanya Izal serius.
Kenapa
aku sedih gara-gara kak Rendi? aku sendiri ga tau kenapa aku sesakit
ini. malahan rasanya lebih sakit ketimbang waktu Sonia ngomong dia
jadian sama Izal. aku bahagia sama kak Rendi. sama bahagianya waktu sama
Izal dulu. aku nyaman disisinya. Kalo saja aku ga denger langsung dari
mulut kak Rendi, aku pasti ga bakal percaya kalo dia Cuma jadiin aku
alat buat bales dendam. Aku sakit waktu tau tentang semua itu. aku
sakit, karena aku cinta sama dia.
“iya. gue suka sama dia.” jawabku lirih.
Aku dan Izal terdiam untuk beberapa saat. Sibuk dengan pemikiran masing-masing yang dipermainkan oleh takdir.
“zal, sepi. nyanyi dong.” pintaku.
“gue ga ada gitar.” Jawab Izal.
“ga papa. Nyanyi biasa aja. acapela juga boleh.” Godaku. Keceriaanku mulai kembali.
“ok lah. Lo denger baik-baik yah,,,” kata Izal. aku mengangguk.
aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu
aku ingin menjadi sesuatu yg mungkin bisa kau rindu
karena langkah merapuh tanpa dirimu
karena hati tlah letih
aku ingin menjadi sesuatu yg selalu bisa kau sentuh
aku ingin kau tahu bahwa ku selalu memujamu
tanpamu sepinya waktu merantai hati
bayangmu seakan-akan
kau seperti nyanyian dalam hatiku
yg memanggil rinduku padamu
seperti udara yg kuhela kau selalu ada
hanya dirimu yg bisa membuatku tenang
tanpa dirimu aku merasa hilang
dan sepi, dan sepi
kau seperti nyanyian dalam hatiku
yg memanggil rinduku padamu
seperti udara yg kuhela kau selalu ada
selalu ada…
kau selalu ada…
Izal mengakhiri lagunya. Dia melirik Sofi yang tertidur di pundaknya.
Izal menggenggam erat tangan Sofi. memejamkan matanya. menikmati
detik-demi detik kebersamaannya dengan Sofi yang mungkin tak dapat
dirasakannya lagi. Izal sudah tau jawaban Sofi, sekarang pilihan ada di
tangannya. melepasnya, ato merebutnya kembali.
***
“papa sama mama ga bisa yah tinggal disini sehari lagiii aja.” pintaku.
“papa sama mama kan harus kerja sayang. kamu sabar yah. nanti, kalo
proyeknya uda 100% selesai, papa sama mama janji, akan pulang dan
tinggal disini sama kamu.” papa membelai rambutku.
“beneran pa? serius.” Tanyaku bersemangat. Papa mengangguk.
“yeeeay!! Senangnya bisa kumpul lagi.” kataku senang.
“Theoo, kamu pulang hari ini juga?” tanya mama.
“engga ma. Theoo masih ada urusan di kantor polisi soal kasus itu. hari
ini Theoo di periksa buat jadi saksi. Selain itu, Theoo mau temenin
Sofi dulu disini. takut ada apa-apa sama dia. lagian, Theoo juga lagi
libur 2 bulan. Jadi santai.” jawab kak theo setelah menelan habis roti
bakarnya.
“bagus deh. Kalo begitu mama sama papa bisa tenang disana.” Kata mama lega.
“pa, ma, uda siang. Sofi berangkat sekolah dulu yah. sebenernya sih
pengen banget nganter papa sama mama ke air port.” Aku beranjak dari
kursiku lalu mencium tangan papa dan mama.
“gapapa sayang.
nanti kalo mama uda sampai disana, mama telfon. kamu hati-hati yah.
jangan pergi sendirian.” Mama mengingatkan lalu mengecup pipiku.
“ok. ma” kataku sambil beranjak dari ruang makan dan berjalan menuju garasi.
@sekolah…
“Sofi?? pipi lo kenapa?” tanya Susan yang terkejut melihat goresan panjang di pipi kiriku.
“engga papa. Di cakar si ben kemaren.” Jawabku bohong. Susan ga perlu tau soal kejadian di anyer itu.
“emang si ben lo apain? Nyakar sampe segitunya.” ledek Susan. Aku nyengir.
“eh, sof, lo udah denger belum, hot news sekolah kita?” Susan memulai
acara gosipnya. Aku hanya mengangkat bahu tanda tak tau.
“ada anak sekolah kita yang di penjara.” Bisik Susan yang sukses buatku keselek country choise ku.
“uhk… arrgh. Lo jangan ngaco.” Aku menyangkal kalimat Susan. Pdahal Aku tau siapa yang dia maksud.
“siapa yang ngaco. Gue serius tauk. Dia…”
“Sofi,,!! Kak Susan,,!!” tegur Sonia yang berdiri di depanku. fhew… sukurlah… aku menarik nafas lega.
“hey, Sonia!” sapaku.
“eh, Sof, ikut gue bentar yuk. Gue mo ngomong sama lo.” Sonia menarik tanganku.
“ngomong apaan? Disini aja.” tanyaku.
“ga bisa. ntar Susan denger, bisa gawat kalo dia sampe berkoar, mulutnya kan kayak toak.” Ledek Sonia.
“rese’ lo!!” Susan melempar Sonia dengan botol country choise kosong
yang dia rebut dari tanganku. Sonia nyengir lalu menggandengku pergi
meninggalkan kelas.
“lo mo ngomong apaan?” tanyaku sambil duduk di bangku panjang depan green house.
“gue mo minta maaf sama lo.” jawab Sonia.
“maaf soal apa?” aku mengernyit tak mengerti.
“yea,, soal semuanya. maaf karena udah jahatin lo. maaf juga karena udah rebut Izal dari lo.” jelas Sonia.
“haha… udah lah Sonia. lupain aja soal itu. gue seneng kalo lo udah sadar.” Jawabku santai.
“makasih yah. lo udah jadi sahabat gue yang paliiiiiing baik.” kata Sonia, senyumnya mengembang dan tulus.
“kemana aja lo? baru nyadar yah.” aku sok. Aku dan Sonia tertawa bersama.
“sof, gue juga mo pamit sama lo.”
“eh? pamit? Emang lo mo kemana?”
“gue mo ke amrik. Ini hari terakhir gue disini. besok gue berangkat.”
“amrik? Ngapain?”
“jualan kacang. Ya tinggal disana lah. Sekolah dan hidup disana.” Kata Sonia gemas.
“yah, kalo lo pindah, gue jadi ga ada saingan dong.” goda ku.
“tenang aja, kita saingan ke tingkat internasional sekarang.” jawab
Sonia. “ntar kalo gue udah disana, lo jangan lupain gue yah. lo harus
sering-sering kirim e-mail, wtw-an di facebook, tapi jangan ngajakin gue
maen twitter, gue ga ngerti yang gitu-gitu mah.” Lanjut Sonia.
“hahaha… sieph lah. Kalo lo pulang ke sini, jangan lupa bawain
oleh-oleh bule cakep yah. ga usah muluk-muluk, sejenis Robert Pattinson
aja uda cukup buat gue.”
“jiah, berat gitu mah.”
Aku nyengir. ga nyangka bisa sedeket ini lagi sama Sonia. ternyata
selama ini aku salah. Sonia tetap sahabatku. Sejak dulu hingga sekarang.
di dunia ini kata ‘mantan pacar’ emang uda pasaran banget. tapi gue
belum nemuin tuh yang namanya ‘mantan sahabat’. Belum dan ga akan pernah
nemu. Karena di dunia ini ga ada yang namanya mantan sahabat. Sekali
sahabat tetap sahabat. Dulu, sekarang, dan selamanya.
Selama
kita hidup, yang namanya konflik emang ga akan pernah berhenti buat
ngikutin kita. Dia udah kayak maut yang bisa datang kapan pun, dimana
pun, dan dengan cara apapun. Tapi jangan takut. Karena persahabatan dan
hidup kita ga akan bermakna tanpa adanya konflik. *plak! Aku ngomong apa sih?!
***
Kelas mulai sepi. sebagian besar anak-anak sudah pulang. Aku masih
duduk di kursiku sambil menyelesaikan catatanku tentang periodisasi
sastra.
“hey sof!! Pulang bareng yuk!” ajak Izal.
“eh? gue…”
“tunggu di parkiran yah.” Izal memotong kalimatku, lalu pergi meninggalkan kelas.
“ish, aneh. Padahalkan aku belum bilang iya. ato dia sengaja motong
kalimatku biar aku ga bisa nolak kali yah?” gumamku sambil memasukkan
buku catatanku kedalam tas.
Aku menyusuri koridor sekolah
sendirian. Berjalan pelan sambil mengamati keadaan sekitar. Sekolah
bener-bener udah sepi. tinggal beberapa anak yang bergerumbul, menggosip
di parkiran sambil nunggu motornya bisa keluar. Ato anak-anak yang lagi
bersihin kelas karena kena jadwal piket.
Mataku tertuju
pada Kana yang sedang duduk di depan kantor kepala sekolah. Pasti nunggu
Pak Martin. Kana kan cucunya kepala sekolah ini. dan dia ga sendirian.
Kana sama cowo. Eh? itukan kak Rendi? ngapain dia disini?
Kak Rendi melihat kearahku. Aku langsung mempercepat langkahku menuju pos nya mbah Mario.
“Sofi…!!” panggilnya. Aku ga peduli dan terus jalan.
Tin… tin…
Mobil Izal berhenti di depanku. Aku membuka pintu mobilnya dan langsung masuk tanpa menatap kak Rendi.
“kak Rendi ngapain disini? dia nyariin lo?” tanya Izal tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
“engga tau. tadi gue liat dia sama Kana.” Jawabku santai.
“sama kana?” Izal mengernyit. “ya udah lah. Ngapain juga bahas dia. Oh, ya Sof. Tar malem hang out yuk.”
“hang out? Kemana?”
***
Izal berjalan menaiki tangga sambil bersenandung ria. Malam ini dia
akan hang out sama Sofi. rasanya seperti kembali ke masa lalu. Saat
Sonia dan Rendi belum muncul diantara hubungan mereka dan menghancurkan
semuanya.
Izal mengulurkan tangannya hendak menyentuh handle pintu, tapi seseorang menahannya.
“gue ga suka lo deket-deket sama Sofi.”
Izal tersenyum tipis menatap kakaknya.
“kenapa? lo cemburu?” Izal nyolot.
“iya lah. Dia cewe gue.” Rendi staycool.
“cewe lo? berani banget lo bilang kalo dia cewe lo setelah lo nyakitin dia begitu.”
“Brengsek lo! lo ga tau apa-apa. ok, gue emang udah jahat sama dia.
tapi gue sama Sofi belum putus. Sofi tetep cewe gue, sekarang, besok,
dan selamanya!!”
“ok. kita liat aja nanti. Gue tunggu lo di
lalala café jam 7 malem.” Jawab Izal masih dengan tampang nyolotnya. Dia
memasuki kamarnya dan menutup pintunya dengan kasar.
“lalala café jam 7?”
***
“hey zal!! kemana aja lo? baru nongol sekarang.” sapa Marco si pemilik café.
“gue kan kejebak di hati lo. baru bisa lepas nih.” Izal alay.
“sialan lo. geli gue dengernya.” Marco menoyor kepala Izal. Izal
nyengir. “eh, ada Sofi juga. apa kabar? Masih inget gue kan?” sapa
Marco.
“iya. kak Marco kan? yang punya café ini?” tebak Sofi.
“yup!!” Marco mengangguk mantap.
“kok cafenya sepi kak?” tanya Sofi.
“iya. baru aja buka, kemaren-kemaren abis di renovasi.” Jelas Marco.
Sofi manggut-manggut. Dia memang melihat perubahan di café ini. terutama
di tengah café yang sekarang terdapat panggung live music lengkap
dengan alat musiknya. Dan yang paling menarik perhatian Sofi adalah
piano klasik yang terletak di sebelah drum.
“bagus. Ada pianonya juga.” kata Sofi sambil menekan beberapa tuts piano di hadapannya itu.
“lo bisa maen?” tanya Marco.
“em,,, lumayan. Dulu pernah les. Di rumah aku juga punya yang kayak
gini.” Jawab Sofi sambil duduk di belakang piano dan membiarkan
jari-jarinya menari diatas tuts piano.
Alunan music fur elise mengalun indah dari piano yang dimainkan Sofi. membuat beberapa pengunjung termasuk Izal dan Marco terpesona padanya.
Plok… plok… plok… plok… riuh tepuk tangan mengiringi berakhirnya permainan piano Sofi.
“wow!! Yang kayak gini mah bukan lumayan lagi namanya. Tapi hebat. Gue
lagi nyari orang yang pas buat jadi pianis disini. tapi belum ketemu.
Gimana kalo buat malem ini… aja, lo maen disini. tolongin gue lah…”
Marco memohon.
“yeeey,,, enak aja. Sofi kesini buat ngedate sama gue. masa’ mo lo suruh kerja sih. ga bisa!!” protes Izal.
“gapapa deh zal. gue suka maen piano kok. Maenin satu ato dua lagu lagi ga masalah lah,,” jawab Sofi santai.
“nah, tuh dia aja mau. Rese lo! jadi orang egois amat.” Marco meninju
bahu Izal. “thanks banget ya Sof.” Lanjut Marco. Sofi tersenyum lalu
melanjutkan permainan pianonya. Dia memainkan sebuah lagu yang cukup
mewakili perasaannya saat ini…
terima kasih tuk luka yang kau beri
ku tak percaya kau tlah begini
dulu kau menjadi malaikat di hati
sampai hati kau telah begini
berkali-kali kau katakan sendiri
kini ku tlah benci, cintaku tlah pergi
pergi saja kau pergi, tak usah kembali
percuma saja kini hanya mengundang perih
cukup tahu ku dirimu, cukup sakit ku rasakan kini
pergi saja kau pergi, tak usah kembali
percuma saja kini hanya mengundang perih
buang saja kau buang cinta yang kemarin
perasaan tak mungkin percayamu lagi
cukup tahu ku dirimu, cukup sakit ku rasakan kini
Izal menatap Sofi lekat. Ada bening yang meneres dari mata dan
membasahi pipi Sofi. Izal tau lagu ini, dan dia juga tau untuk siapa
Sofi menyanyikannya. Sesakit itukah Sofi karenanya?
Izal melirik cowo yang berdiri di sampingnya. Dia juga memandang Sofi lekat. Ada perasaan bersalah dimatanya.
“lo beneran dateng?” tegur Izal.
“gue Cuma penasaran aja sama lo.” jawab Rendi dingin.
“dia serius suka sama lo, tega lo nyakitin cewe sebaik dia, eh?” sindir Izal sinis.
“gue nyesel banget. gue emang salah.” Gumam Rendi lirih.
“kalo gitu,,, sana. Lo kejar dia gih.” Kata Izal datar. Rendi
mengernyit mendengar perkataan adiknya. Dia melirik Izal yang memandang
lurus kearah Sofi.
“cepet lo kejar dia sebelum gue berubah
fikiran!!” Izal mengulangi perintahnya. Rendi tersenyum lalu beranjak
dari tempatnya.
“kak Rendi, tunggu!!” teriak Izal. Rendi menghentikan langkahnya. Izal berjalan mendekati Rendi.
“tapi awas kalo lo berani nyakitin dia lagi. ga peduli siapapun lo, gue
ga segan-segan buat nantangin lo maen monopoli sampe lo bangkrut.”
Ancam Izal.
“sialan lo. gue kirain apaan.” Rendi menoyor kepala Izal.
“eh, gue serius. Awas aja lo, kak.” Izal menepis tangan Rendi.
“beres lah. Thanks ya.” kak Rendi menepuk bahu Izal. Izal tersenyum
‘anggep
aja ini ganti rugi karena gue ga becus jagain kak Resti. Dan buat lo
Sofi, lo adalah bintang yang paling terang bagi gue. jangan sampai lo
redup dan mati. Gue selalu stay disini, di belakang lo, memeluk dan
jagain lo selamanya.’
***
“Sofi,,,” tegur Rendi. Sofi buang muka dan langsung menghapus air matanya.
“sof, aku mau ngomong sama kamu. please, kasih aku kesempatan buat
jelasin semuanya sama kamu.” Rendi memohon lalu menggandeng tangan Sofi.
Sofi tak menolaknya. Mungkin dia lelah terus-terusan menghindar dari
Rendi.
“kakak mau ngomong apa?” tanya Sofi lirih sambil duduk di gazebo yang ada di taman belakang café.
“sof,, sebelumnya aku minta maaf. Jujur, aku emang jadiin kamu alat
buat bales dendam sama Izal. kamu pasti udah tau ceritanya dari Izal
kan?!” jelas Rendi pelan. Sofi mengangguk.
“aku pengen
nyakitin Izal, dengan cara deketin kamu. awalnya sih begitu, tapi…
lama-lama keadaan mulai berubah. aku beneran suka sama kamu sof. Aku
nyesel udah nyakitin kamu.” Rendi menggenggam tangan Sofi.
“udah? Gitu doang?” tanya Sofi dingin tanpa menatap Rendi.
“sof, boleh ga aku pinjem bahu kamu?” Rendi menatap Sofi lekat. Sofi mengernyit menatap Rendi heran.
“aku lelah sof. Udah 2 hari ini aku ga tidur. Aku berantakan kalo ga
ada kamu.” Rendi memeluk Sofi dan menyandarkan kepalanya di bahunya.
“dimaafin kok.” Kata Sofi lirih lalu membelai lembut pipi Rendi. “ga
peduli sejahat apapun kakak sama aku. aku uda terlanjur cinta sama
kakak. kakak jangan sakitin aku lagi. aku cape.”
2 minggu kemudian…
Kak Rendi Rendi membukakan pintu untukku. aku melepas sabuk pengaman lalu turun.
“eh, itu bunganya dibawa…” kak Rendi mengingatkan.
“oh iya. aku lupa.” Aku menepuk keningku, lalu meraih bunga diatas dashboard mobil kak Rendi.
“kebiasaan deh.” Kak Rendi geleng-geleng. Aku nyengir.
“ayo, ntar keburu ujan.” Kak Rendi menggandeng tanganku. Aku
mengangguk. langitnya emang mendung. Padahal baru jam 3 sore, tapi kayak
udah surup.
Aku dan kak Rendi berjalan melewati pintu masuk
pemakaman. Lalu berhenti di sebuah pusara putih yang bertuliskan nama
‘Resti Arsinta’ di permukaan nisannya.
Kak Rendi berlutut di samping pusara kak Resti. Aku ikut berlutut disampingnya.
…
“um,,,
Resti, sebenernya aku udah jatuh cinta sama Sofi. menurutku, dia mirip
kamu. selalu buat aku nyaman dan tenang saat aku ada disisinya.”
“aku seneng akhirnya kamu jujur Rendi. kamu harus bisa lupain aku. Sofi
anak abaik. Berbahagialah kamu dengannya.” Resti mengelus pipi Rendi.
…
Rendi tersenyum mengingat mimpinya beberapa waktu lalu.
“Resti, kamu apa kabar? Kamu baik-baik yah disana. Sekarang ada Sofi
disisiku. Maaf, aku ga bisa setia sama kamu. tapi aku bahagia sama Sofi.
kamu pasti juga bahagia kan disana?” kata kak Rendi sambil mengelus
nisan kak Resti.
“hai, kak Resti… kita ketemu lagi. aku
Sofi. dan mulai sekarang aku yang akan jagain kak Rendi. Kakak tidur
yang nyenyak yah. meskipun kita udah bahagia disini, tapi kita janji ga
akan pernah lupain kakak.” lanjutku. Aku meletakkan bucket mawar putih
yang ku bawa diatas pusara kak Resti.
Kak Rendi merangkulku,
lalu berbalik meninggalkan pusara putih kak Resti. Rintik-rintik
gerimis mulai turun. Kak Rendi membuka cardigannya dan mengerudungkannya
padaku agar tidak basah. Aku memeluk pinggang kak Rendi. ga nyangka
bisa sedekat ini sama dia. aku naksir ade-nya, eeh malah dapet kakaknya.
Hidup ini emang rumit. Ini ceritaku. Apa ceritamu?
-The EnD-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar